Kita semua mengerti bahwa negara Paman Sam adalah negara maju, sehingga sering sekali negara itu dijadikan rujukan dalam segala penilaian. Pemerintah Amerika adalah pemerintah yang paling radikal gerakannya ketika berhubungan dengan kepentingan politiknya.
Hak asasi dan demokrasi adalah dua pilar yang terus digaungkan oleh mereka, sehingga Amerika tidak pernah memejamkan matanya apabila di belahan dunia ini terjadi konflik, meskipun konflik yang sifatnya sebenarnya hanya bersifat lokal.
Amerika pula yang sering menggaungkan toleransi, hingga mereka harus gatal untuk mencampuri kurikulum pesantren, karena pesantren dicurigai sebagai wahana pembangunan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Kesenjangan kebijakan Amerika memang antara bumi dan langit. Kita sering membaca komentar dan sanjungan dari orang-orang yang (pernah) tinggal di negeri itu bahwa toleransi di sana sungguh luar biasa. Sikap dewasa, harga menghargai dan tak suka ikut campur urusan orang adalah budaya hidup di sana. Setipa orang memiliki kebebasan untuk menjalankan apapun sepanjang masih dalam koridor aturan negara itu.
Mereka juga sering membuat perbandingan-perbandingan kultur dan budaya. Indonesia yang masih paternalistik seperti ini tentu jauh berbeda dengan kondisi riil di sana. Dengan pendek kata, hidup di Amerika memang laiknya hidup di sorga, karena siapapun akan dijamin untuk mewujutkan impiannya.
Standar Ganda itu
Perlakuan pemerintah Amerika terhadap warganya, yang menjunjung tinggi toleransi dan kebijakan politik luar negerinya yang radikal itu sering membuat kita bingung berpikir. Di lain pihak Amerika memang menjadi penggiat HAM, kebebasan dan demokrasi, namun dipihak lain Amerika sering bersikap kontra produktif, menciptakan kejahatan HAM dan radikalisme global.
Hal itu sudah menjadi pengetahuan kita bersama. Kisah porak porandanya Irak, Libya beberapa tahun lalu menjadi salah satu bukti inkonsistensi Amerika itu. Belum lagi hancurnya Afganistan dan beberapa negara di Timur Tengah yang berkonflik, kemudian dengan berbagai dalih Amerika masuk dengan mengibarkan bendera HAM dan Demokrasi.
Dari dalam negeri misalnya, peran Amerika dalam pemberantasan terorisme amat kental. Pemerintah dalam hal ini, nampaknya begitu patuh dan taat akan kebijakan-kebijakan Amerika. Belum lagi beberapa ketidakadilan ekonomi yang diimplementasikan di negeri ini yang sering merugikan Indonesia. Freefort adalah salah satu penjajahan ekonomi itu.
Dalam konteks kontroversial film Innocence of Muslim lebih kentara lagi. Pemutaran film yang berbuntut demonstrasi besar-besaran di beberapa negeri yang penduduknya beragama Islam, harusnya disikapi sebagai penggiat HAM dan demokrasi oleh Amerika.
Demonstrasi di beberapa titik di dunia sebetulnya hanyalah reaksi dari sebuah aksi. Dalam masalah ini, Amerika justru bersikap bodoh dan tidak merasa keliru. Penistaan kepercayaan/ keyakinan, kitab suci, dan simbul-simbulnya menurut, keuskupan gereja Katolik Vatikan amat tak pantas dilakukan. Menurutnya aksi kekerasan itu hanya sebuah konsekuensi dari provokasi yang dihembuskan oleh pembuat film tersebut.