Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Guru Indonesia Seharusnya Malu dan Introspeksi Diri

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelum pelaksanaan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa waktu lalu terjadi beberapa perdebatan sengit antara guru yang tidak sepakat, sehingga mereka sepakat untuk menolak mengikuti UKG. Berbagai hal dijadikan alasan penolakan ujian itu diantaranya pemerintah kurang memberi waktu/ terlalu buru-buru, pemerintah kurang persiapan, kurang sosialisasi, tidak penting dan segala macam alasan lainnya.

Namun demikian masih banyak guru juga yang kooperatif dan tetap memenuhi undangan mengikuti uji dimaksud. Mereka tetap mengikuti tahapan-tahapan ujian yang diadakan untuk mengetahui kualitas guru dan peta kualitas guru.

Terlepas antara pro dan kontra dengan berbagai alasan yang dikemukakan, kita tetap harus mengapresiasi pemerintah atas kebijakan tersebut. Meskipun masih ditemukan kekurangan sana sini yang menjadikan para pihak yang kontra terus berusaha untuk meniadakan dan menggugat Permendikbud Nomor 57 Tahun 2012 tentang Uji Kompetensi Guru.

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa sejatinya kualitas pendidikan kita masih jauh dari standar yang diharapkan. Keluhan-keluhan masyarakat tidak saja pada misalnya ketidakberesan proses seleksi peserta didik baru, ketidaktepatsasaran program sertifikasi, kedisiplinan guru, kualitas pengajaran dan evaluasi, namun lebih dari itu adalah mental para guru yang terkesan telah berada pada wilayah aman (confort zone) sebagai pegawai negeri.

Lebih-lebih lagi pegawai negeri yang telah berhasil mengantongi sertifikasi dengan tunjangan yang lumayan besar.

Kita semua berpikir bahwa anggaran pendidikan yang tinggi selama ini terasa belum berjalan seiring dengan kualitas output siswa. Dalam konteks sekolah yang dikelola oleh pemerintah (baca: negeri) yang seluruh biaya pendidikan dipikul oleh pemerintah seharusnya bisa mencapai target-target pendidikan nasional, misalnya pada angka ketuntasan 65.

Angka ketuntasan 65 adalah angka yang wajar sebaga standar pendidikan nasional. Oleh karena itu angka tersebut wajib disampaikan kepada khalayak pendidikan baik siswa maupun guru.

Pemerintah pun seharusnya terus mengejar angka tersebut sebagai angka patokan bahwa kualitas pendidikan terkecil seharusnya berada diangka tersebut. Maka dari itu, menjadi PR semua baik guru dan pemerintah untuk selalu berpacu untuk mencapai angka itu.

Berdasarkan informasi dari Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dan Penjaminan Mutu Pendidik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Syawal Gultom, per 1 Agustus ini nilai rata-rata nasional berada di angka 47.84. Peserta sementara yang menghasilkan nilai itu adalah 151 ribu guru atau sekitar 15 persen dari seluruh peserta UKG tahun 2012.

Terlepas valid atau tidak valid, seperti pernyataan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) , angka tersebut adalah angka sementara Uji Kompetensi Guru yang dilaksanakan pada 30 Juli-1 Agustus lalu. Walaupun sebenarnya sudah ada peningkatan dari UKG yang diadakan pada awal 2012 yang berada di angka 42.25, namun  nilai itu masih jauh dibawah standar ketuntasan.

Dari hasil tersebut dapat dilihat betapa masih perlunya guru-guru kita itu mengupgrade diri dan kompetensinya hingga mencapai angka yang ditargetkan. Oleh karena itu, angka itu harus menjadi cermin bersama, sejauh mana guru-guru itu telah berusaha untuk terus meningkatkan agar target-target ketuntasan belajar siswa di angka 65 itu bisa tercapai pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline