Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Secuil Cerita Tentang Mobil Dinas Dr. Adyatma, MPH (Bagian 2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="ilustrasi/admin(Harja Saputra)"][/caption]

Setelah pada tulisan yang pertama kemarin membahas tentang kisah Dr. Adyatma, MPH yang berkaitan dengan kejujuran dan kesederhanaannya saat beliau menjadi Dirjen dan Menteri Kesehatan periode tahun 1988-1993, tulisan ini akan membahas sisi lain yang tidak kalah menariknya.

Susahnya mendapatkan suri tauladan di negeri ini membuat kita semua rindu menemukan sosok-sosok yang dapat dijadikan guru. Sudah lama orang-orang seperti beliau tidak muncul dan susah mencari penggantinya. Sisi kesederhanaan adalah sisi yang paling dikagumi dari sosok seorang pejabat.

Dari situlah sebetulnya dapat ditemukan sikap seseorang ketika mengelola harta dan kariernya. Bila orang berkuasa, kemungkinan besar ia akan memanfaatkan kekuasaan dan saluran-saluran “cerdas” yang mampu meningkatkan propertinya. Dari banyaknya orang yang berniat membuka jalur pintas bisnis, orang yang memanfaatkan namanya hingga semangat untuk mengambil proyek-proyek di lingkup yang dipimpinnya.

Sosok pejabat yang sederhana, adalah hasil keluaran proses berpikir dan bertindak yang lama dan berkepanjangan. Bagaimana tidak, seorang pejabat biasanya memiliki lingkup kerja yang luas yang sebetulnya dapat dimanipulasi untuk kepentingan dirinya.

Tidak perlu jauh-jauh ke seorang menteri atau dirjen, seorang kepala desa saja akan memiliki wilayah yang luar biasa. Sebut saja misalnya pedagang-pedagang kaki lima bisa ia kelola untuk mendapatkan hasil yang luar biasa. Belum lagi permainan-permainan klasik yang dipoles-poles sehingga nampak bahwa itu didasarkan aturan yang ada.

Contoh misalnya, di sebuah kelurahan mengurus KTP dan KK (Kartu Keluarga) bisa meraup Rp. 60.000 – Rp 100.000, untuk keduanya. Belum lagi misalnya pungutan-pungutan liar yang mengatasnamakan retribusi.

Ke atasnya, seorang camat misalnya, akan memiliki jaringan yang lebih luas dari seorang kepala desa. Dia membawahi beberapa desa yang potensi untuk “dimanfaatkan” demi keuntungan pribadinya. Apa lagi si pejabat itu hidupnya di kota-kota menengah dan besar yang di kawasannya terdapat perusahaan-perusahaan baik kecil atau besar.

Artinya bahwa setiap jabatan itu memiliki wilayah-wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri.

Dengan gambaran seperti itu, bisa dibayangkan seorang pejabat sekelas dirjen tentu akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk “menyelingkuhi” proyek-proyek yang sedang digarapnya. Katakanlah seprti di Departemen Kesehatan, misalnya, proyek-proyek besar akan tersedia di dalamnya. Potensi korup sangat besar, bila karyawannya tidak memiliki integritas yang kuat.

Sosok seperti Dr. Adyatma, MPH, telah mampu memberikan suri tauladan yang bisa menginspirasi bawahannya untuk melakukan pekrjaan yang lebih baik dan sehat.

Namun demikian ada saja tentunya ide-ide nakal yang terus diupayakan untuk mengelabui “bosnya” untuk kepentingan diri dan keluarganya. Anak buah sering berbuat nekat dan tidak procedural, pun sering memanfaatkan apologi “juragannya” untuk mendapatkan hal yang lebih-lebih.

Ketika itu Dr. Adyatma, MPH sdang mengemban jabatan penting di departemen kesehatan. Seperti biasa, setelah akhir masa jabatan mobil-mobil dinas sering dialihtangankan kepada penggunanya. Tentu sebuah tantangan yang berat ketika memiliki “bos” yang jujur dan tidak mau kongkalingkong dengan hal-hal yang tidak etis.

Pun anak buah Dr. Adyatma, MPH ketika itu. Beberapa anak buahnya mengajukan untuk membeli mobil dinas (semoga istilahnya tidak salah), mereka menyebutnya “ngedem” ke Dirjen. Dalam surat pengajuan itu didaftar nama-nama pejabat terkait yang mengajukan pembelian mobil dinas. Untuk memudahkan proses tersebut, para anak buah itu juga menyebutkan nomor mobil yang biasa dikendarai oleh sang Dirjen. Tentu pencantuman nomor mobil itu agar upayanya mulus tanpa hambatan.

Ada dua pertanyaan menunggu, apakah proposal itu akan diterima atau ditolak. Sang Dirjen saat itu menerima dan menandatangani proposal itu, namun mencoret nomor mobil yang sering dikendarai. Artinya dengan halus beliau tidak ingin melego mobil dinas yang selama ini digunakan, dan menyetujui usulan anak buahnya untuk membeli alih mobil yang selama ini dikendarainya.

Mungkin sebetulnya tujuan sang Dirjen adalah membuat pelajaran kepada anak buahnya, bahwa tirulah saya, tidak usah maruk dengan membeli mobil dinas. Namun, karena berjauhnya prinsip antara bos dan anak buahnya, tetaplah mobil itu diambilnya, tentu dengan harga yang berbeda.

Bahwa sejatinya kekuasaan mampu dimanfaatkan itu tidak dapat dipungkiri, namun ketika itu bertentangan dengan integritas diri dan keluarga, tentu tak akan dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline