Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Haruskah Anak Kita Menjadi Juara?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masihkah kita berpikir linier bahwa prestasi itu terlihat dari rangking berapa putra putri kita. Nyaris kita tidak melihat prosesnya dan hanya terfokus pada hasilnya. Bila kita masih berpendapat demikian, alangkah kasihan kita.

Mengapa?

Ya, pendidikan itu adalah investasi untuk masa depan yang sangat berharga. Hasil pendidikan tak dapat dinikmati hari ini, tetapi beberapa saat ke depan. Hal ini penting kita pahami dari sekarang, agar investasi ini tidak hanya instant investment yang hanya mengajarkan kita untuk berpikir praktis.

Bila sebagai orang tua, kita, terlalu menuntut putra-putri kita untuk ini dan itu, secara tidak langsung itu juga mengajarkan cara berpikir praktis itu kepada mereka. Kita menuntut anak kita untuk bernilai 90 atau 100, namun kita tidak pernah terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan. Pokoknya apapun lakukan yang penting nilainya bagus, dan juara satu.

Kita melihat saat ini beberapa diantara kita menggeser nilai hanya pada angka-angka belaka. kecenderungan ini pun diterapkan oleh pemerintah ketika menentukan nilai UN sebagai ukuran kelulusan siswa kita. Padahal semuanya paham, bahwa proses pembelajaran itu tidak hanya terfokus pada mata pelajaran yang di UN-kan. Namun masih ada belasan mata pelajaran yang dari awal terus diajarkan untuk mencapai kompetensi-kompetensi yang diinginkan.

Sungguh disayangkan pergeseran-pergeseran itu terasa seperti hal biasa. Seakan-akan proses itu dapat dikompensasi dengan nilai uang yang bagi orang yang berduit bisa menggunakannya untuk apapun.

Siswa yang jarang serius mengikuti belajar, karena kekuatan duit bisa menembus gurunya dengan iming-iming. Mereka pun bisa masuk ke sekolah-sekolah yang katanya berkualitas itu dengan sesuatu yang mereka miliki.

Bagi para mahasiswa yang berpikir ecek-ecek, dengan modal kekuatan finansial yang kuat, skripsi pun dapat terbeli. Mereka jarang mengikuti pembelajaran, namun selalu mendapatkan angka-angka yang baik dan tinggi. Sehingga kita pun tahu, apabila mereka masuk ke dunia kerja, jalur-jalur gelap akan dilalui. Warna-warna korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bunga-bunga indah namun berbau busuk sebagai konsekuensi bila pola pikir praktis itu diimplementasikan.

Maka tindakan demi tindakan, akibat demi akibat akan terus bersambung terus menerus tiada henti. Pola pikir orang tua yang berpikir praktis pun akan dengan mudah diikuti oleh anak-anaknya. Karena sejatinya itu adalah pemancangan budaya, tindak tanduk dan karakter.

Walaupun tidak bisa digeneralisir, pepatah "like father like son", "kacang ora adoh seka lanjarane" mungkin pas untuk mendeskripsikan kecenderungan itu.

Maka bila proses dianggap tidak lebih penting dari hasil, maka yang muncul hanyalah kecurangan-kecurangan dan ketidakberesan karena hanya berorientasi kepada hasil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline