Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar atau membaca kata internasional? Mungkin Anda akan berpikir dan membayangkan sesuatu yang berkonotasi mendunia, dan berbau ke-barat-baratan. Pun mungkin Anda akan membayangkan sesuatu yang mahal, orang bule, kapital, pluralism. Pokoknya yang hebat-hebat lah...
Ambil contoh misalnya hal-hal yang menempel kata internasional, pasti mereka eksklusif dan tidak semua orang mampu meraihnya.
Yang sering kita dengan adalah, misalnya; Rumah Sakit Internasional, Sekolah Rintisan Berstandar Internasional, Sekolah Berstandar Internasional, atau pun Sekolah Internasional. Selain itu mungkin Anda pernah memenuhi label-label internasional yang berada di lingkungan Anda sendiri.
Setelah menemukan, coba saja iseng-iseng karakter apa yang berada di dalamnya. Mungkin Anda akan menemukan hal-hal yang tidak pernah Anda duga, entah itu cara pandang, prinsip, gaya berpakaian, gaya bicara, properti atau hingga sikap orang-orang yang berada di dalamnya.
Kalimat yang pas mungkin adalah, jangan kita tercengang oleh penampilan fisik (atau casing) nya belaka, karena Anda akan banyak menemukan kekecewaan di dalamnya.
Beberapa hari lalu, saya ketemu sahabat dan teman seperjuangan saya. Dia adalah teman bergurau, teman membenahi barang-barang di perkerjaan ketika setelah dilanda banjir. Pertemuan kami terjadi di sebuah SMP di kawasan Duren Sawit Jakarta Timur, ketika kami sama-sama di daulat memberikan penilaian pada kompetisi Bahasa Inggris SMP se Jakarta Timur.
Karena telah lama tidak komunikasi, tentu banyak cerita yang terungkap. Terutama curhatan teman tersebut yang saat ini menjadi guru di sebuah sekolah swasta internasional. Sekolah tersebut adalah sekolah mahal karena untuk tingkat Sekolah Dasar saja orang tua harus merogoh kocek sebesar kisaran Rp. 25.000.000 hingga Rp. 30.000.000,00. Tentu bagi orang keumuman jumlah itu bukan kecil lagi, namun seharga rumah petak yang ditempati oleh beberapa warga Indonesia.
Anda pun dapat membayangkan seperti apa kondisi sekolah dan juga orang tua siswa yang terlibat dalam pembelajaran di sekolah tersebut. Masih menurut cerita teman saya, setiap bulan biaya yang dikenakan adalah Rp. 1.500.000,00. Jumlah yang mencengangkan tentunya, karena kuliahpun tidak sampai sejumlah itu. Jumlah itu tentu sangat kontra dengan para pekerja pabrik yang berangkat pagi pulang malam. Tetapi yang pasti, ukuran itu bukan ukuran berat bagi orang tua menyekolahkan di tempat itu. Itu hak mereka jugalah, wong itu duit-duit mereka.
Hal yang dikeluhkan oleh teman saya itu sebetulnya bukan masalah besarnya biaya pendidikan itu namun lebih kepada posisi guru di tempat itu. Selain posisi guru, hal penting yang mungkin akan tereduksi adalah kebebasan dan hak manajerialnya sebagai pendidik, atau lembaga sekolah tersebut. Di dalamnya mungkin termasuk kepala sekolah.
Dengan kata lain, pihak penyelenggara pendidikan pada sekolah jenis tersebut lebih banyak terpasung oleh kepentingan "radikal" orang tua. Orang tua lebih merdeka melakukan penjajahan hak profesi terhadap sekolah dan guru-gurunya. Dengan alasan telah membayar mahal mereka tidak memberikan celah kreatifitas kepada para guru untuk melakukan hak-haknya sebagai guru dan pendidik. Tekanan demi tekanan terus mereka terima.
Di lain sisi, masih menurut cerita sahabat itu, tingkat kemandirian siswa-siswa pada sekolah jenis itu sangat kecil. Dengan berbagai ketersediaan finansial orang tuanya, anak lebih tidak diberi kebebasan untuk bertingkah laiknya usia mereka. Anak-anak telah dibimbing dengan limpahan fasilitas namun aspek-aspek kecerdasan lain sering tidak terperhatikan.