Pasang surut dunia politik itu hal yang biasa. Ibarat roda, kadang di bawah kadang di atas. Nilai yang bisa kita ambil adalah ketika sedang di atas ya jangan adigang adigung dan adiguno alias sak geleme dhewe bin semaunya sendiri. Karena posisi di atas itu tidak akan lama. Pun ketika posisi di bawah, jangan bersedih hati dan tetap bersabar karena di balik kepedihan dan kesedihan itu akan ada kabar baik.
Gambaran ini mungkin juga cocok diarahkan pada Demokrat. Kita dulu masih ingat khan proses pendirian partai ini. Kepiawaian Susilo Bambang Yudhoyono ketika sering di remehkan Presiden Megawati waktu itu, justru menarik empati kebanyakan rakyat Indonesia hingga suaranya luar biasa. Sehingga mengalahkan partai-partai besar dan seniornya seperti Golkar dan PDIP. Dengan demikian, Demokrat mencatatkan diri sebagai partai mayoritas pemeroleh kursi DPR ketika itu.
Kecepatan perkembangan itu tentu tidak berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan partai tersebut. Dari perspektif ini, Demokrat tidak lebih baik dari partai-partai yang tadi saya sebut. Waktu yang amat pendek tentunya adalah kendala terbesar untuk saling mensinergikan sumber daya yang ada didalamnya. Kehadiran kader partai yang spontan (ujug-ujug) itu menyulitkan partai ini dalam pendidikan politik terhadap para kader.
Terbukti, ketika partai ini menjadi penguasa, kemudian SBY yang memenangkan pemilihan presiden ketika itu sering terlihat tidak memiliki visi yang jelas terhadap manajemen negara dan pemerintahan. Peran SBY ketika episode pertama lebih terkalahkan oleh kepiawaian Yusuf Kalla ketika itu. Sehingga tidak sedikit hal penting atau kebijakan-kebijakan penting ketika itu, kalla yang maju. Ambil contoh ketika masalah penyesuaian harga BBM, Kalla yang maju. Namun ketika revisi ketika itu SBY yang turun. Hal ini tentu menunjukkan bahwa SBY masih memiliki kegamangan. Hal lain yang sering menegangkan adalah ketika proses pemilihan pembantu atau perombakan, tidak pernah SBY membuat lompatan yang membahagiakan. Selalu SBY membuat drama-drama yang menegangkan.
Waktu terus berjalan, Demokrat untuk kedua kalinya mencatatkan diri sebagai partai besar secara kuantitas, hingga SBY maju untuk yang kedua kalinya menjadi presiden. Untuk kali ini SBY lebih memilih profesor Budiono yang lebih tidak galak dari Yusuf Kalla. Dengan kelembutan Budiono, SBY lebih diuntungkan karena lebih kelihatan atraktif dan agresif dari periode sebelumnya. Toh publik juga tahu, peran SBY juga tidak jauh-jauh dari periode sebelumnya. Justru pada era sekarang, pemerintah nampaknya tidak lebih baik dari sebelumnya, karena tidak ada lompatan-lompatan signifikan seperti ketika Yusuf Kalla mendampinginya.
Rupanya kenyamanan Demokrat sebagai pengusung SBY sebagai presiden tidak berjalan lama. Sejak tahun 2011 atau tahun 2010, Demokrat terus dirundung malang. Sering tertihat ketidakkompakan antar pengurus DPP dalam membuat pernyataan terkait banyak hal. Puncaknya ketika proses pemilihan Ketua Umum yang dimenangkan oleh Anas Urbaningrum, faksi-faksi dan masalah-masalah internal kian terlihat. Pihak Demokrat tampak sering tidak piawai menjelaskan itu semua ke masyarakat.
Masalah-masalah terus terjadi dan melibatkan lebih banyak orang DPP. Peran DPP dalam membuat masalah internal partai lebih dominan dari pada DPW dan DPC. Masalah-masalah yang selama ini tertutup, misalnya gerakan-gerakan koruptif bawah tanah yang selama ini aman mulai terus terungkap, dan tidak jauh juga dari orang-orang DPP.
Menyikapi hal ini sekali lagi nampak sekali ketidaksiapan petinggi-petinggi Demokrat untuk berdemokrasi. Saling tuding dan saling menghindar adalah hal biasa dalam partai ini. Hampir setiap hari, setiap saat, menjadi pemberitaan media, dan hampir saai itu pula Demokrat tidak memiliki kekuatan untuk meyakinkan rakyat bahwa yang dikabarkan itu tidak benar. Semakin banyak mereka berbicara, akan semakin banyak pula permasalahan yang muncul.
Dalam posisi sulit seperti ini, seharusnya memiliki kesepahaman antar pengurus, namun itu nampaknya tidak terbangun. Bangunan-bangunan yang mereka ciptakan sudah terlanjur menjadi santapan publik, dan Demokrat terlihat kelabakan menghadapi hal itu.
Sehingga saya membayangkan, ketika tokoh-tokoh Demokrat bertindak seperti tokoh-tokoh partai lain yang memiliki corong komunikasi, mungkin derita berkepanjangan ini tidak akan dirasakan oleh Demokrat. Partai lama maupun partai baru yang dalam konteks ini aman adalah Partai Golkar dan Partai Nasdem. Golkar dengan corong TV One dan ANTV dengan sigap meletakkan tokoh-tokoh Golkar dalam posisi aman. Ambil contoh saja, TV One mungkin tidak pernah memberitakan kasus-kasus Lapindo. Demikian juga Partai Nasdem yang memiliki corong lebih banyak, misalnya Media Indonesia, Metro TV, RCTI, MNCTV, Global TV, Koran Sindo dan Radio Sindo yang hampir berada di penjuru negeri ini adalah kekuatan mereka hari ini dan kelak.
Andai saja Demokrat memiliki itu semua, mungkin mereka akan bisa menjelaskan kepada publik dengan bahasa yang mereka pilih pula. Namun sayang, peluang itu tak pernah dipikirkan oleh kader.......