Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Kemana Para Insinyur Indonesia?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bila kita berpikir ideal dalam arti linear antara latar belakang pendidikan dengan jalur karir, kita mungkin akan berpikir pesimistis. Hal itu berdasarkan kecenderungan bahwa kita sering selingkuh antara jurusan kita menempuh pendidikan dengan garis pekerjaan yang kita tekuni saat ini. Karena faktanya banyak di antara kita tidak bekerja berdasarkan jurusan pendidikan kita.

Ambil saja, misalnya guru. Guru itu bukan pekerjaan yang secara instan dapat direngkuh. Dalam kurikulum kependidikan mahasiswa dari semester awal telah dikondisikan untuk dapat menyampaikan materi dengan seribu cara dengan berbagai pendekatan. Pun mereka telah dibekali ilmu-ilmu psikologi pendidikan yang akan membimbing dalam pengajarannya dan mensikapi pluralitas karakter siswa.

Sehingga ketika ada disiplin ilmu yang kita pelajari, misalnya seorang insinyur, sarjana hukum, sarjana ekonomi dan lain-lain yang berkarir di dunia pendidikan dalam arti sebagai guru masih dituntut memiliki banyak hal ilmu yang terkait dengan pelaksanaan kependidikan. Hal itu wajar karena memang mereka lebih menekuni ilmu-ilmu terapan atau teoritis di bidang yang mereka tekuni. Artinya ketika seorang yang bukan ahlinya diberikan tugas yang tidak pada bidangnya akan terjadi mis-objective. Serahkan kepada ahlinya, kata yang sering kita dengar.

Hal lain yang mungkin akan sebagai dampak adalah terabainya bidang-bidang tugas yang seharusnya menjadi sentuhan mereka.

Lalu apakah hal inilah yang saat sedang terjadi di negeri ini? Orang-orang sering bekerja bukan pada bidangnya. Sehingga banyak sektor yang tidak tersentuh, yang mengakibatkan degradasi produktifitas pada bidang-bidang tersebut. Banyak juga misalnya para lulusan bidang pertanian yang memilih berkiprah di bidang lain. Atau bidang teknik yang menyeberang ke bidang lain. Namun apapun jadinya, itu memang hak kita semua untuk memilih yang terbaik.

Ambil contoh misalnya di bidang pertanian. Kita lihat bersama bahwa selama tiga dasa warsa terakhir ini bidang ini seperti tidak memiliki taji alias tidak ada perkembangan yang signifikan. Tidak ada kreatifitas dari mereka yang seharusnya berkiprah dalam bidang ini. Kalau dulu ada terobosan-terobosan bidang ini, misalnya ada intensifikasi pertanian hingga penemuan-penemuan modern yang mengatrol hasil pertanian.

Apabila kita telusuri dari berbagai sumber memang kita temukan hasil-hasil riset yang dapat dijadikan acuan untuk peningkatan, namun saat ini nampaknya stagnan dan tidak nampak hasil-hasil yang dapat dibanggakan. Lalu adakah korelasi antara melemahnya hasil pertanian dengan melompatnya para alumni dibidang pertanian ke lain bidang, perbankan dan pendidikan.

Pada tahun 2011 kemarin kita mendapatkan ada penciptaan varietas unggul misalnya INPARI 14 PAKUAN, INPARI 15 PARAHYANGAN, INPARI 16 PASUNDAN, INPARI 16-20, INPARI SINEDUK, SAGANGGAM PANUAH, DAN INPAGO 7 dan masih banyak lagi varietas-varietas unggulan. Belum lagi pada tahun-tahun sebelumnya yang mungkin mencapai ratusan hingga ribuan.

Di bidang tehnologi lain misalnya, kita jarang menemukan produk-produk di lapangan yang diciptakan oleh anak negeri. Walaupun ada, jumlahnya masih kalah dengan produk-produk impor buatan Cina. Ambil contoh barang-barang kecil, misalnya mainan anak dan alat-alat rumah tangga lebih banyak didominasi oleh karya negeri China, "Made in China". Sehingga menurut saya tidak salah kita menanyakan kemana sejatinya para insinyur-insinyur kita yang notabene jutaan itu.

Kita merasa cemburu melihat itu semua. Kita memiliki sumber daya yang luar biasa, namun kita tidak memiliki kekuatan untuk bangkit dan hanya puas menjadi penonton di negeri sendiri. Atau jangan-jangan negeri ini memang negeri yang inferior dan tidak bangga menjadi negara yang mandiri. Ataukah ini semua karena bentuk kekalahan kita dalam persaingan global ini. Menyedihkan memang.

Atau thesis ini benar juga, negara kita memang senangnya menjadi penonton yang anteng dan disiplin. berarti kita sejatinya bangsa yang tetap terjajah di tengah kemerdekaan yang kita raih. Buktinya ketika banyak karya-karya anak SMK yang mencengangkan (yang secara jujur mempermalukan para insinyur)  itu pun ditanggapi secara sinis dan prasangka negatif para pengelola negeri ini. Sehingga ketika muncul orang seperti Jokowi yang mengapresiasi karya anak-anak bangsa ditanggapi sumir oleh orang-orang yang (maaf) terjajah oleh penjajahan modern.

Lalu mau dibawa kemana negeri ini? Anda punya jawabnya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline