Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Menguji Diri dalam Perbedaan Menjelang Pencoblosan

Diperbarui: 22 September 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu Presiden tinggal sehari. Alat-alat kampanye di jalan raya dan di tempat-tempat umum telah diturunkan. Tidak hanya tim sukses yang membersihkan, namun masyarakat terlibat dalam pembersihan alat-alat kampanye tersebut.

Hari-hari tenang yang seharusnya digunakan untuk menjalin keakraban dan silaturahmi setelah hampir sebulan ternodai buruk sangka, kampanye negatif atau kampanye hitam, rupanya tidak digunakan secara baik dan efektif oleh para simpatisan capres dan pasangannya. Sehingga dalam dua hari tenang ini justru terjadi pembunuhan karakter secara massive, dilakukan oleh para simpatisan.

Di dunia nyata, kampanye telah berhenti. Namun tidak demikian di dunia maya. Dunia maya benar-benar digunakan untuk membunuh "musuh" politik. Saudara sedaerah, seagama, senegara seakan telah dengan secara paksa diupayakan untuk dianggap musuh.

Hal ini benar-benar memprihatinkan kita semua. Kita seakan kehilangan budaya, karakteristik keIndonesian yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Kesejatian prinsip itu seakan luluh lantak hanya karena disebabkan oleh kecintaan pada capres (yang belum jelas menang) secara berlebihan.

Kondisi social politik yang sedang bertensi tinggi ini justru digunakan secara tidak baik oleh mereka yang memiliki orientasi ekonomi. Mengambil keuntungan dengan cara yang tidak jujur dan mengedepankan keadilan. Sikap dari beberapa anggota masyarakat, perusahaan media social yang berlebihan ini justru berpotensi tidak mendegradasi suhu social politik yang saat ini sedang naik.

Lihatlah situs YouTube yang ketika tulisan ini dibuat masih menayangkan iklan yang membunuh kharakter salah satu calon presiden. Iklan itu tentu sangat menohok bagi pihak tertentu, karena kontennya yang secara sporadis dan radikal menyerang, dan potensi untuk dinikmati oleh semua pembuka situs YouTube itu.

Saya sempat beberapa kali mencetak layar YouTube yang sedang menayangkan iklan tersebut. Pertanyaan saya, bagaimana bisa YouTube dengan secara sadar menayangkan iklan tersebut? Iklan yang diunggah oleh Koalisi Hancur Prahara No.1 (Swara Prahara).

Itu baru satu contoh yang saat ini sedang terjadi di media social, belum lagi media social lain, Twitter maupun Facebook, pun komentar sebuah berita.

Kedewasaan berpolitik kita benar-benar diuji. Bagaimana kita berbeda pendapat, bagaimana kita menghargai keragaman yang ada, termasuk keragaman calon presiden kita.

Kita juga turut prihatin pertarungan pengaruh dan emosi tidak hanya berada di tataran warung makan, warung kopi atau pasar. Kalangan akademisi, termasuk para professor banyak yang kehilangan nilai-nilai keilmiahan sehingga membuat pernyataan seenak kehendak sendiri.

Padahal kita juga belum tahu, apakah orang-orang yang kita bela hingga kita kehilangan kendali itu bakan jadi presiden besok. Hanya ada satu pasang calon yang jadi, bukan dua-duanya. Oleh karena itu biasa saja menyikapi perbedaan itu, tidak perlu lebai. Hingga kita terjatuh pada “got bau” yang kita ciptakan sendiri. Toh, siapapun yang terpilih, mereka tidak mungkin membayari hutang kita kepada orang lain. Tetap saja kita sendiri yang membayar hutang kita itu. Makanya biasa-biasa sajalah….

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline