Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Apakah Dunia Sudah Baik-baik Saja dalam Dominasi Pria Alfa?

Diperbarui: 15 Juni 2024   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Sigma Male: theadultman.com

Jika lini sejarah umpama jembatan gantung Spartan yang berderit-derit, derit-derit itu seakan hanya menyebut nama-nama seperti Alexander the Great, Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, Winston Churchill, Genghis Khan atau Adolf Hitler. Mereka adalah para pria alfa (alpha male) yang melambangkan kejantanan dan dominasi, acap kali dianggap sebagai model yang paling diinginkan dalam hierarki sosial.

Pria alfa cenderung mampu memimpin dengan karisma yang kuat dan superior dalam situasi-situasi yang memerlukan kepemimpinan yang tegas dan dominan. Namun, mereka juga memiliki risiko kecenderungan otoriter dan rentan pada konflik antarindividu.

Di antara banyak tipe pria, pria alfa terbalik secara sempurna dengan tipe pria sigma (sigma male). Pria sigma menawarkan pandangan yang lebih subtil tentang kekuatan dan kepemimpinan. Mereka adalah individu yang lebih suka bekerja sendiri, mengejar ketenangan dalam kesendirian mereka.

Sigma cenderung independen, mampu beroperasi di luar struktur sosial konvensional, dan memiliki kecerdasan yang mendalam serta ketajaman analitis. Mereka mungkin tidak selalu menjadi pusat perhatian, tetapi kehadiran mereka sering kali memancarkan daya tarik yang misterius dan karisma yang tak tertandingi.

Dalam wacana politik kekinian, pria sigma tidak laku jika dipajang di etalase dengan tergesa-gesa, karena mereka sudah lama tesembunyi di balik jiwa introvert-nya yang mengungkung. Kadang-kadang hanya menunggu dunia secara tak sengaja menemukan mereka.

Garis potong antara Aristoteles dan murid kebanggaannya Alexander The Great, adalah karena yang satu sigma dan yang lain alfa. Sehingga Alexander lebih banyak disebut-sebut ketimbang Aristoteles, yang berbanding terbalik dari bagaimana pengaruh keduanya bagi keunggulan ras manusia.

Pria alfa yang narsistik cenderung mencari pengakuan dan dominasi dalam interaksi sosial, sementara pria sigma lebih tertarik pada pencapaian pribadi dan kebebasan dari ekspektasi eksternal, serta mampu keluar dari kotak-kotak pikiran konvensional.

Secara metafora, pria alfa sering kali diidentifikasi dengan predator yang kuat dan dominan dalam hierarki alam, seperti singa atau serigala alfa. Mereka memiliki keberanian, kekuatan fisik, dan kemampuan memimpin yang mendominasi dalam kawanan.

Sementara itu, pria sigma mungkin lebih mirip dengan hewan yang lebih independen dan individualis, seperti elang atau harimau soliter. Mereka memiliki kecerdasan, keahlian, dan kekuatan yang prima secara individual, tetapi cenderung untuk menjaga jarak dari hierarki sosial yang mapan dan lebih memilih hidup dalam kesendirian atau dalam kelompok kecil dengan seleksi ketat.

Jika Anda mulai mengurut nama-nama seperti Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Nikola Tesla, Steve Jobs, dan Charles Darwin, dalam kecenderungan sebagai sigma, tepat sekali, mereka adalah pria sigma sejati dengan tidak menolak kemungkinan akan bercampur dengan tipe lain. Bagaimana dengan filsuf, adakah filsuf yang berjiwa Spartan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline