Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Robin Hood dalam Tubuh Demokrasi Kita

Diperbarui: 8 Juli 2022   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: wallpaperbetter.com

Sampai tulisan ini habis dibaca, mungkin ada yang bertanya, apa yang lebih barbar dari kerja-kerja menggemukkan kantong pejabat dari laci negara?

Di samping cara ganas dengan tabiat korup dan main proyek, cara sopan dan aman untuk merampas uang rakyat adalah memperbesar gaji dan segala fasilitas para pejabat dan petinggi perusahaan plat merah dengan membungkusnya lewat regulasi dan utak-atik angka secara memuakkan.

Mereka tak ubahnya seperti pemangsa puncak (apex predators) di kelasnya bersama kawanan oligark dengan paruh yang besar-besar dan anehnya tak pernah robek, sebanyak apapun muatannya.

Tapi bagaimana jika uang rampokan itu tidak dibawa pulang semuanya, namun dibagi lagi kepada jelata, memperlebar ruang kebahagiaan, mencukupi kebutuhan orang kecil. Adakah Robin Hood di antara mereka, apakah pahlawan bertopeng itu nyata?

Ini akan sama sekali berbeda. Robin Hood adalah bangsawan yang menjadi musuh pejabat korup, merampok uang mereka dan membagi hasilnya untuk orang miskin. Bagaimana jika mereka berkepribadian ganda, sebagai Robin Hood dan pejabat korup dalam satu tubuh. Mereka merampok diri sendiri lalu memberinya kepada fakir.

Alih-alih mendapatkan pahlawan bertopeng di malam buta, mereka membawa selusin kameramen dengan wajah paling terekspos dan senyum palsu. Tapi justru ini lebih baik, dari pada tidak terjadi apa-apa.

Lewat utilitarianisme, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill hampir menyampakkan cara-cara apa yang dilakukan, asal itu bertujuan untuk mempromosikan kebahagiaan bagi banyak orang. Filosofi etik cara ini, dengan aksioma yang melekat padanya bahkan membungkam tindakan-tindakan baik namun hanya berujung kepada kegetiran.

The creed which accepts as the foundation of morals utility, or the greatest happiness principle, holds that actions are right in proportion as they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the reverse of happiness, kata pak John S. Mill.

Dengan demikian tidak menjadi penting untuk datang sebagai pahlawan bertopeng, filantropis dengan alter ego, atau politikus anggun. Seorang legislator yang baru saja turun dari gedung rakyat dengan kantong menggelendut dan hampir koyak, mendatangi rakyat yang telah memilihnya, menghambur-hamburkan uang itu ke udara, agar mereka bisa membeli beras, paling tidak dapat menjadi contoh yang baik dalam aksioma utilitarianisme, meskipun mereka tidak mengatakan yang sebenarnya.

Secara kasat mata, moral etik pada paham ini mengaduk-aduk antara idealisme dan pragmatisme, normatif dan positif, das sollen dan das sein. Sebuah tindakan atau pragma diukur berdasarkan tingkat kemanfaatannya, serta mengabu-abukan semacam filsafat kebenaran atau yang berkaitan dengan metafisis dan dogma.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline