Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Teka-teki dari Leiden dan Kebangkrutan Literasi Melayu

Diperbarui: 3 Desember 2021   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Leiden University Library| Sumber: staticflickr.com/Michiel2005

Kenangan tentang Melayu tersimpan dalam peti dan lemari orang lain. Berada di negeri yang jauh. Di kita romantika Melayu hanya serpihan mozaik, sedikit naskah tersisa, kita tak tahu banyak bagaimana Melayu di abad pertengahan atau lebih jauh dari itu. Kita akhirnya terjebak dalam lingkaran teka-teki kuno (ancient riddle).

Ada ribuan naskah kuno dan kearifan lokal Melayu yang tersimpan di Belanda, utamanya di Universitas Leiden, di beberapa tempat di Inggris, dan dalam penguasaan kolektor pribadi. Beberapa lagi dikabarkan tenggelam di dasar laut, terbakar dan rusak parah.

Sedikitnya 26.000 manuskrip tua Nusantara tersimpan di Leiden University Library, jauh melampaui Perpustakaan Nasional RI yang hanya menyimpan 10.300 manuskrip kuno. Sedangkan di Inggris sejarawan Peter B. R. Carey menyebut naskah kuno yang memuat bagian sejarah dari Indonesia saat ini tersebar di berbagai kota di Inggris berkisar 600 buah.

Artinya Melayu yang secara geografis dekat dengan keseharian saya atau Melayu dalam scope Nusantara, pernah memiliki produk intelektual yang bisa saja menjadi penanda bahwa ini adalah puak yang pernah mengalami fase renaisans, abad pencerahan dari terbangunnya tapak-tapak literasi.

Tapi tidak bisa berharap bahwa era renaisans itu benar-benar ada, karena sejarah mencatat bahwa feodalisme yang kuat dan hegemonik, tidak menjadi tempat tumbuh yang baik bagi kuntum-kuntum kreativitas. 

Renaisans hanya mekar di negeri-negeri yang terbuka, menyalakan pelita penerang abad kegelapan periode Gothic, tidak dari bilik istana, tapi dari sudut-sudut yang kurang penting.

Ketika Islam masuk ke alam Melayu, filsafat mungkin telah ditinggalkan. Nama-nama filosof dan saintis Islam seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Kindi, Al Farabi, atau Ibnu Khaldun terlalu sepi bila dibanding dengan ahli-ahli tarekat sufisme seperti Ibn Arabi atau Al Ghazali.

Akibatnya kita (setidaknya saya pribadi) tak pernah mendengar nama-nama pemikir atau saintis Melayu dari masa silam. Tidak juga semacam David-nya Michelangelo, tidak Hamlet dari Shakespeare, tidak pula Serenade punya Mozart. 

Filsafat adalah ibu kandung ilmu pengetahuan. Ia yang melahirkan sains dan menegurnya bila sains berpuas diri. Menyusul munculnya kaum Aristotelian dan Neo-Platonik di Jazirah Arabia, wilayah ini menjadi ibu kota sains dunia, yang kemudian menjadi kiblat peradaban Melayu Islam.

Tinjau: Mengapa Sains Islam Hanya Bertahan 500 Tahun?

Lagi pula, filsafat memiliki sensor yang ketat terhadap fenomena, ini pastinya akan tertolak karena dapat mengancam istana feodal, bisa saja filsafat akan meruntuhkan monarki dan mempertanyakan apa esensi untuk taat kepada sabda raja-raja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline