Percakapan tentang kehendak bebas hampir-hampir dihabisi. Setidaknya itu yang saya sadari, kemauan bebas versus takdir dalam determinisme telah menjadi perdebatan filosofis sepanjang waktu. Kesimpulannya dan jika saya harus berpihak: kehendak bebas hanyalah ilusi.
Bersama makhluk biologis lainnya, setiap aksi dan reaksi keseharian kita telah tersusun dalam urutan langkah logis yang disebut algoritma.
Kita melakukan urutan-urutan secara tetap dalam misalnya menanak nasi atau mengerjakan tugas-tugas kantor atau pabrik, dan aktivitas di pagi atau bahkan sepenuh hari yang selalu berulang.
Algoritma pada siklus hidup seekor kucing dapat dideteksi secara sederhana. Dari bayi dan menyusu, menggaruk telinga, bergelut, mengais untuk menimbun kotoran, suara-suara berisik memasuki musim kawin, beranak pinak, menyusui dan seterusnya, dan itu terjadi sama untuk setiap kucing.
Algoritma pada kucing berlaku konstan dengan periode yang rigid, karena tidak ada interupsi dari pikiran. Apakah pikiran dan horizon peristiwa yang mengitarinya bagian dari kehendak bebas? Faktanya, hari ini kecerdasan buatan (Artificial Intelegence) dapat mengambil alih kehendak bebas untuk menentukan keputusan terbaik, dengan hanya mengerkah algoritma kita.
Tak perlu membawa-bawa teori Friedrich Ratzel tentang faktor-faktor eksternal (determining factor) atau Dr. Joe Dispenza tentang kekuatan kebiasaan atas tindakan yang datang dari dalam, kita dapat merasakan sendiri, apakah kita benar-benar telah bertindak secara bebas.
Apakah kita punya jadwal untuk tertawa, marah, atau jatuh cinta? Semua itu berasal dari dorongan, kita tidak bebas, kita didorong atau ditarik secara simultan. Dalam energi kuantum, dimisalkan bila seseorang di ujung sana sedang memikirkan kita secara konstan, kita akan segera ditarik untuk melakukan kontak bahkan terlihat sebagai kebetulan yang tidak logis.
Ini bukan kebetulan, kita tidak bebas, kita ditarik. Terkait fenomena ini, saya telah cepat-cepat mencomot postulat Profesor Ilmu Kognitif Donald Hoffman _tanpa mendalami sepenuhnya_ bahwa keseluruhan persepsi kita tentang realitas adalah ilusi.
Kita berpikir bahwa kita punya kehendak bebas soal memilih mode atau produk lainnya, padahal kita mungkin hanyalah korban dari pesan subliminal yang bertubi-tubi oleh rangsangan visual maupun suara dari marketing produk.
Kita bisa berdalih, kita tidak pernah melihat iklan itu, tapi hanya mengikuti tren atau ajakan teman, atau tidak ada pilihan lain selain yang itu, atau karena pertimbangan harga. Alasan-alasan tersebut bukan bagian dari kehendak bebas, kita disetir. Ini belum dicampur aduk dengan nafsu dan godaan setan dalam sistem kepercayaan.