Nenek moyang kita bukan hanya seorang pelaut, tapi juga seorang pendobrak. Bersama hampir semua etnik di dunia, mereka melewati patahan-patahan adat dan budaya.
Adat yang kita kultuskan hari ini adalah hasil dari pelanggaran adat berkali-kali yang mereka lakukan. Mereka membangun bid'ah-bid'ah terhadap kultur, adat, dan identitas etnis sepanjang garis waktu. Kita tidak seberani itu.
Leluhur kita tidak turun dari langit serta merta (generatio spontania) dengan kelengkapan adat, sistem kepercayaan dan dialek semula jadi, dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang kita sanjung pada hari ini.
Mereka telah melakukan banyak eksprimen, membuat bantahan-bantahan, secara kurang ajar membuang kelengkapan adat usang yang harusnya lebih luhur dan sakral dari yang mereka ada-adakan pada hari itu. Mereka juga melakukan perubahan pasif akibat adanya sejarah penaklukan (apokalypsis) yang menghanguskan peradaban aboriginal.
Seorang tradisionalis bisa saja memvonis generasi milenial sebagai pelanggar adat dan pantang larang, padahal mereka hanya ingin berani seperti pendahulunya. Adat yang kita junjung hari ini tidak akan pernah ada, jika pendahulu kita tidak seberani itu. Mematahkan mitos-mitos kuno dan menggantinya dengan mitos "baru". Bila teknologi selalu terdisrupsi demikian pula adat istiadat (custom= kebiasaan atau tradisi) yang terdistorsi oleh kekinian kita.
Tulisan ini tidak bermaksud memperkarakan proyek-proyek pelestarian adat dan melunturkan kebanggaan kita pada sejarah, identitas lokal dan etnik sendiri, hanya sebagai alert bahwa kita tak pernah berpisah dari rantai kosmos, membuka minda (berasal dari mind_mindset, kosa kata global) kita bahwa kita adalah produk global yang terus menerus berproses ke bentuk yang lebih baru.
Kita membutuhkan visi yang holistik untuk melihat kompleksitas kita. Kita perlu mundur, melakukan zoom out agar tubuh sejarah kita tidak terlihat kerdil. Tidak cukup dengan tinjauan 300 tahun, bila perlu 3.000 tahun.
Ini dianjurkan Goethe agar akal kosmos kita termanfaatkan dengan sempurna. Tanpa sadar, kita mungkin meneruskan semangat penguatan identitas etnik, melalui mitos-mitos rapuh yang dikontaminasi oleh virus devide et impera, ditularkan dari air liur kolonial Belanda.
Nenek moyang kita bukan hanya seorang pelaut, tapi adalah pembaharu yang progresif. Mereka memiliki kesadaran global, melakukan akulturasi dan asimilisi, mengimpor ide dan mode dari Eropa, Arabia, India dan Tiongkok, serta tak menolak berbahasa lingua franca yang merupakan gabungan dari hampir semua bahasa populer yang pernah dituturkan oleh dunia.
Kesadaran global itu telah ada sejak silam, bahwa mereka tidak semacam satu umat Tasmania yang terisolasi selama 10.000 tahun di pulau paling selatan peta dunia. Lagi pula identitas kita hari ini hanyalah identitas semu. Sudah tidak ada etnis yang murni secara horizontal. Kita hanya diikat oleh lingkaran mitos yang ditandai oleh kesamaan dialek (mother tongue) dan ritual adat. Tidak lebih.