Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Jalan Dialektika Islam-Komunis

Diperbarui: 22 Mei 2021   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: i.guim.co.uk

Polarisasi dalam tubuh keindonesiaan kita tengah menguat. Ada dua kutub yang saling menolak: Islamisme di satu sisi dan komunisme di sisi lain. Sebagai sebuah ideologi, komunisme belum tamat, ia tetap hidup sebagai laten. Jalan pedang? Tunggu dulu, masih ada jalan dialektika.

Islam dan komunis seperti musuh abadi, keduanya menyimpan dendam historis. Mengapa Islam? karena di Indonesia mayoritas Muslim. Akan beda di Soviet yang mayoritas Kristen dan Tiongkok yang dulu mayoritas Konfusius dan Budhis.

Ketika Belanda masih ada, Islam dan Komunis bahkan punya musuh yang sama: kolonialisme. Keduanya berjihad untuk mengusir penjajah. Bahkan pemikir-pemikir Indonesia, para murid Barat seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Semaun harus beraliran kiri agar sehaluan dengan tren global anti kolonialis, yang dipicu oleh keberhasilan Revolusi Oktober 1917 di Rusia.

Tapi intelektual kita tidak menyerap seluruhnya Leninisme Soviet, mereka harus mengelaborasinya dengan kondisi Indonesia. Seperti juga yang dilakukan DR Sun Yat-sen di Tiongkok.

Hatta, Tan Malaka, dan Semaun, misalnya, harus menghadapi risiko pemecatan oleh Josef Stalin dari keanggotaan Komintern dengan tuduhan sebagai Marxist aliran revisionist, sebab mereka hendak menerapkan Marxisme tapi dengan nuansa khas Indonesia. Kepada Hatta, Tan Malaka bahkan pernah berkata, 'punggung saya belum bisa bungkuk.'

Komunisme berasal dari manifesto Karl Marx plus Friedrich Engels, nabi para kaum Marxis. Ada misi suci untuk keadilan, kesetaraan dan penghapusan kelas. Serta mengangkat kaum proletar, yang sudah terhegemoni sangat kuat oleh kapitalisme borjuis.

Lalu mengapa Islam dan Komunis (baca: PKI) di Indonesia dalam posisi saling meniadakan? Sebab komunis selalu mengibarkan bendera revolusi, ingin melakukan lompatan besar dengan gegas.

Lalu membenarkan cara apa saja, the end justifies the means (tujuan membenarkan caranya). Dalam pemberontakan berdarah, sebagian besar korbannya adalah pemuka agama (Islam). Patut dicatat, korban komunis di Soviet, China, Albania, dan Kamboja bukan ulama.

Selama periode Stalinis, seperti ditulis dalam The Church in the Soviet Union 1917 - 1941 _Russian Review,  pada 1930, komunis Soviet menghancurkan gedung-gedung gereja atau mengganti fungsi bangunan dalam penggunaan sekuler, seperti museum, bar atau fasilitas penyimpanan. Pendeta dieksekusi, melarang penerbitan materi keagamaan dan  beberapa anggota kelompok agama dianiaya.

Islam dan Komunis di Indonesia sama-sama memperkuat stigma dan membunuh karakter. Islam dituduh sebagai penyimpan ideologi terorisme, dan komunis dicap sebagai penjahat sejarah dan anti Tuhan. Selebihnya adalah politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline