Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Elon Musk and The Next President of Indonesia

Diperbarui: 26 April 2021   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elon Musk: picture-alliance/AP/J. Raoux

Sebagai bangsa yang terimpit di antara dua raksasa, kita mestinya melompat bukan berbual. Raksasa pertama adalah kolonial-imperialisme yang didahului monarki absolut, yang kedua yang di depan kita adalah industri robotika super cerdas, yang akan mengambil alih tugas-tugas kita sekejap lagi.

Lebih dari tujuh dekade, kita berada dalam fase kemerdekaan teritorial, dengan stigma Negara Ketiga. Usai Perang Dunia II, hampir semua negara berada di titik nol, tapi agar lebih adil kita mengambil garis start dengan sesama Negara Ketiga saja, misalnya Singapura, Korea Selatan, Tiongkok, dan Taiwan yang telah maju.

Atau bandingkan di antara negara pemenang lotre di bumi, yang melimpah sumber daya alamnya, negara-negara petro dolar, Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Brunai, dkk, apa kurangnya sumber daya alam kita, apa kurang terjajahnya mereka di masa lalu?

Kita yang paling melimpah dan paling beraneka isi perut buminya, dan apa yang di atas bumi, lautan dan hutan, tapi mereka justru yang menjadi negeri para sultan. Sedang kita tetap hanyut dalam arus deras kemiskinan. Bila sekarang tampak baik-baik saja, itu hanya soal seni berkawan dengan cicilan bulanan.

Dalam sebentuk kemerdekaan secara de jure, kita masih dalam tancapan kuku para elite global, yang mengendalikan sistem moneter dunia, yang secara klasik mengisap sumber daya alam kita sekaligus menukarnya dengan belitan utang. 

Sebagian elite kita dari segala rezim, sekilas tampak seperti teman, karena kulit yang sama cokelat. Mereka menabur mitos-mitos, bahwa kekayaan bumi kita tidak akan pernah membuat kita menjadi kaya.

Tanggal 11 Mei 1997, adalah hari paling memilukan _atau hari pertolongan_ bagi pemujaan otak manusia. Sebuah komputer bernama Deep Blue telah dilahirkan, dan langsung menekuk kampiun catur dunia Kasparov. Deep Blue terus tumbuh dewasa dalam ranggi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). 

Kini dan sebentar lagi, hampir tidak ada yang tidak bisa dilakukan AI. Jangankan untuk mengambil semua profesi kita yang remeh, ia bisa melakukan sesuatu yang tak terlintas dalam imaji kita. 

Anda butuh komponis klasik sekelas Mozart, mereka tinggal mencetaknya dengan printer 3D, yang di dalam otaknya ditanamkan seluruh kecerdasan Mozart, bahkan dengan sifat dasarnya sebagai mesin yang mampu belajar, ia bisa menyerap Beethoven, Bach atau Vivaldi sekaligus.

Anda rindu dengan Einstein, Gibran, Shakespiere, suatu waktu mereka akan mendatangkannya. Bahkan gabungan dari ketiganya. Apapun yang dapat menggeser eksistensi kemanusiaan kita, akan bisa dilakukan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline