Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Haruskah Politisi Diklaster agar Negara Berjalan Ilmiah?

Diperbarui: 11 April 2021   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.poynter.org

Tidak ada jalan berputar, kita tak mungkin menghalau demokrasi seperti Plato. Selain memikul dusta sejarah, demokrasi hanya memproduksi pemikir - pemikir pendek. Bagaimana Indonesia 30 hingga 50 tahun ke depan, siapa peduli. Mereka bukan penenung, mereka pelari, yang berlari terlalu cepat. Hingga pikiran tercecer di belakangnya. Apa yang lebih penting dari 2024? Tidak ada.

Tidak juga mungkin mengganti diksi demokrasi, demos kratos (kekuasaan rakyat), menjadi entah apa selain itu. Toh, rakyat juga tampak menikmati sorak sorai itu, yang mereka sebut pesta para demos. Lalu yang keluar sebagai pemenang mirip pemain jula-jula, itu ke itu saja. Mereka seperti klan, dinasti, atau kerumunan profesi politik dalam tahun - tahun yang sangat panjang hampir tanpa tepi.

Para pemikir asyik sendiri. Intelektual, akademisi, budayawan, pembaca puisi, atau para penghayal, menjadi hampir serupa iringan-iringan karavan yang menagih oase, lalu orgasme sendiri dalam ekstravaganza kata-kata. Para futuris berharap ada dunia paralel di sembarang dunia mungkin, untuk melihat adakah yang seperti kita. Yang terlalu betah berlama-lama dalam permainan dalil.    

Yang mungkin dilakukan adalah membuat cluster, mengunci para politisi dengan jelata yang satu server dengannya, lalu membiarkan negara dijalankan secara ilmiah. Negara yang bebas dari kepentingan politik absurd siapapun. Sehingga tidak dibiarkan para kandidat presiden misalnya, melakukan debat untuk beradu argumen bagaimana mengurus negara, serahkan saja kepada ahlinya. Serahkan kepada yang pintar.

Dalam kontestasi politik, para calon presiden sebaiknya bicara bagaimana membaca teks pidato dengan elegan, mengatur bahasa tubuh dalam pertemuan tingkat tinggi antara bangsa, menggunting pita, menggendong bayi rakyat, memukul gong, dan seterusnya.

Apa sebab Singapura dan Tiongkok maju, mereka menganut meritokrasi. Yang unggullah yang layak. Yang profesional dan memiliki keahlian terukur terus diburu untuk menjadi abdi negara. Sementara anasir-anasir politik yang kontraproduktif otomatis terhapus.

Tiga tahun lalu, saya pernah mengunggah tulisan di academia.edu bertitel "Negara Ilmiah". Tulisan ini ternyata menarik perhatian Harvard University, lalu mengunggahnya di laman coursehero.com dengan kode EDU 022503. Saya sendiri tidak bisa melihat tulisan dalam format PDF ini, karena harus teregistrasi dan berbayar (saya tidak melakukan hal terbalik: membayar tulisan sendiri).

Saya akan tampilkan tulisan tersebut secara utuh di sini, untuk melihat sejauh mana urgensi negara ilmiah, bagi penduduk dunia penganut demokrasi termasuk Amerika. Berikut ini tulisannya:

NEGARA ILMIAH_____Negara dapat berjalan secara ilmiah bila anasir - anasir politik di dalamnya bisa direduksi. Campur tangan terlalu kuat politik kekuasaan bisa menyebabkan arah negara berjalan terbalik dari utopia menuju distopia: negara sekarat.

Politik bahkan sudah sangat lama tercerabut dari akar etimologisnya, tentang mimpi indah warga kota versi Yunani atau ars politica versi Romawi yang berarti kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline