Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Yakin, Kita Punya Kehendak Bebas?

Diperbarui: 14 Maret 2021   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: nyt.com

Apakah kita seperti semut di bawah kaca pembesar? Berlalu lalang dalam keteracakan (keteraturan), dengan gerak gerik yang dituntun oleh algoritma genetik. Tetaplah ragu bahwa kita punya kehendak bebas. Kita sedang dalam kendali terus menerus. Kita tidak sendiri, ada entitas superior di atas kita. Menatap dari ketinggian dan menuntun penuh.

Pabila demikian adanya, para pendekar kehendak bebas, para pemikir keras eksistensialisme di penghujung abad 19 dan awal 20, hanyalah kilatan sekejap dari sebentang panjang sejarah umat manusia. Kierkegaard, Sartre, Heidegger, Kafka, Camus, Nietzsche misalkan, telah berjuang keras untuk memanusiakan para Sapiens yang terlalu lama (ikhlas) dalam kurungan pikiran.

Eksistensi mendahului esensi yang dibahanakan oleh Sartre berkisar soal keterpencilan eksistensi manusia dari apapun label yang ditanamkan pada dirinya, termasuk profesi, stereotipe, definisi, atau kategori dan ragam esensi lainnya yang diatribusikan oleh orang lain atau sistem.

Bila mulai bosan, buanglah teori-teori itu ke keranjang sampah, tempat kita menumpuk semua kisi filsafat, untuk berlenggang di jalan pop. Kultur pop adalah suatu belokan di atas permukaan, untuk keluar dari tarikan dua kutub: determinisme dan eksistensialisme.

Sampai kepada Hegel, Spinoza dan Kant, pemikir klasik menganggap bijak bestari kaum shopis adalah mereka yang berpaham Stoa. Adalah mereka - mereka yang dituntun oleh kode etik, keteraturan, esensi individual, serta menjadi elemen terpenting bagi Ilahi untuk menjaga keteraturan di bumi.

Yang menjadi sama untuk kaum Stoik klasik dan pejuang eksistensialis adalah mereka sama-sama menolak tirani dan perbudakan. Mereka sama-sama ingin mengangkat kerah para kaisar dan oligarkis yang semena-mena.

Stoa mementingkan ajaran moral dan nilai universal, sedangkan kaum humanis lebih menjurus kepada memutuskan semua teraju yang mengekang kemanusiaan, atas dasar kesamaan derajat dan potensi manusia. Semua manusia mestinya adalah Superman, kira-kira begitu  maunya Nietzsche.

Kita bisa uji apakah determinisme atau kehendak bebas yang menang. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa dan di atas kerak bumi yang mana. Kita diberi nama, diberi agama, ditumbuhkan, diasuh oleh semua ikatan, norma, nilai, moral, istiadat, sekolah, negara, dan aturan tak tertulis apapun.

Semua itu adalah temali yang sedang mengikat kemanusiaan kita, dengan cara yang paling sopan sekalipun. Kepada kita kemudian diberikan label, jenama, streotipe, definisi, kategori, apapun dan kita diikat olehnya. Setelah dewasa kita semakin mengikat diri ke dalam profesi, nasionalisme (semua isme), pilihan politik, sekte, mode, protokol, kerapatan adat, pertemanan, pernikahan dan papan bertuliskan "Jangan buang sampah di sini".

Di dalam diri kita. Kita diatur oleh algoritma biologis. Cara kita berjalan, warna suara, jenis tertawa, dan cara kita bereaksi terhadap lingkungan telah ditentukan oleh sifat bawaan. Legenda Siti Nurbaya dibuat untuk mengutuk kawin paksa. Padahal semua perkawinan adalah paksaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline