Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Tiap Sila dalam Pancasila Berpotensi Saling Meniadakan

Diperbarui: 10 Maret 2021   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Pancasila dapat dimetaforakan sebagai lima orang penting yang duduk semeja. Mula sekali kelimanya keras kepala, mudah sekali bertengkar. Mereka turun dari nenek moyang berbeda yang kukuh ajaran asalinya. Sadar sedang berada di rumah besar bernama Indonesia, mereka berbisik-bisik. Pertengkaran tak usai. Diskusi tak selesai.

Pancasila memang final sebagai Dasar Negara, tapi tidak pada esensinya. Pancasila adalah suatu dialektika, menuju titian sunyi utopia. Seperti niskala di pelupuk.

Kelima butir Pancasila dapat hidup serumah karena beberapa syaraf mereka harus dilumpuhkan. Jika masing-masing tetap kuat dan bersuara lantang, mereka akan terus bergelut dengan suara gaduh. Sedang negeri ini butuh kesenyapan, demi meneruskan tongkat estafet peradaban.

Bila masing-masing sila dikeraskan, itu akan jadi akar serabut bagi konflik multi dimensi. Sehingga setiap sila dilengkapi penangkal di ujung kalimat. Pancasila kemudian menjadi pusaka yang dilap-lap, dalam suara-suara lindap yang didiktekan. Menjadi mono, menjadi hapalan dalam tamadun pop.

Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Ia memiliki sensor yang ketat terhadap kemanusiaan. Aturan langit bersifat rigid, ayat-ayat tidak bisa dikompromikan. Penganut sila pertama yang taat, akan kukuh digaris dogma, tidak ada hukum selain hukum langit sebagaimana dirisalahkan para nabi dan manuskrip teologis. Agama-agama pagan dan antropologis mungkin demikian adanya, ketika Tuhan didaulat sebagai Sang Pengatur.

Jika kemudian sang theis takluk kepada aturan Negara, maka itu adalah sebentuk pengorbanan, suatu ketundukan demi kolektivitas. Terjadi pergeseran antara klausa hukum dogmatik ke dalam ruang mitos bersama, kecuali ada kekosongan dalam hukum Tuhan.

Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Secara historis adalah koreksi total terhadap hegemoni agama. Kemanusiaan atau humanisme, adalah antitesa dan aturan Tuhan yang pernah digenggam oleh monarki absolut, yang lebih selalu berada di luar kepentingan Tuhan.

Humanisme menjadi ujung bagi pembebasan manusia dari semua rantai pengatur yang mengikat kemanusiaan. Di zaman renaisans, humanisme tampak mesra dengan perangkat-perangkat religi, belakangan semakin lepas, dalam suatu pranata eksistensialisme, bersama mekarnya globalisasi, kapitalisme dan revolusi teknologi.

Humanisme memiliki sifat keakuan yang kuat, didukung oleh empirisme yang gagal menemukan Tuhan dalam sepak terjang laboratorium ilmu. Maka sila ketuhanan dan sila kemanusiaan berpotensi untuk saling mengusir.

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini berpotensi membatalkan sila pertama dan menjinakkan sila kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun bisa disatukan, jika ada yang mengatakan itu, mereka adalah agnostik, atau atheis yang mengendap-endap. Terhadap sila persatuan, penganut agama harus menanggalkan ajaran Tuhan masing-masing yang bersilang sengketa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline