Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Senyum Mona Lisa di Zaman Masker

Diperbarui: 7 Februari 2021   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by cottonbro from Pexels

Sejak memakai masker, senyuman sebagai satu-satunya kemewahan yang dimiliki manusia telah kehilangan fungsi. Senyum hangat adalah bahasa universal kebaikan, kata William Arthur Ward. Tersenyumlah pada rintangan, karena itu adalah jembatan, sebut Medusa. Tapi Joker juga tersenyum.

David J Schwartz dalam The Magic of Thinking Big menyuruh pembacanya untuk tersenyum lebar dan tulus. Senyum yang tulus bahkan mampu membatalkan kemarahan. Ia telah membuktikan sendiri ketika seseorang tersenyum lebar untuk meminta maaf setelah menabrak mobilnya dari belakang.

Senyum Medusa adalah senyum yang cemas. Ia adalah gadis cantik dalam mitologi yang dikutuk karena menjalin asmara dengan Poseidon _nenek moyang Aquaman_di dalam kuil Athena. Rambutnya menjadi ular dan siapapun yang melihat matanya, jadi batu. Medusa mampu merawat hari-harinya dengan senyuman.

Lalu apa senyum Mona Lisa? Leonardo da Vinci menitipkan misteri pada lukisan Mona Lisa. Mona Lisa dituduh melemparkan senyum palsu. Ahli saraf University of Cincinnati (UC) berkata, senyum Mona Lisa bisa jadi adalah senyum terpaksa karena bentuknya yang asimetris. Bukan sebuah senyum yang natural.

Joker yang berperangai sadis juga sibuk tersenyum, tapi itu dituduh sebagai senyuman teror, sebuah smilling depression seorang psikopat. Ihwal senyum, saya suka orang ini ketimbang Mona Lisa. Dia tidak sedang berpura-pura. Dalam depresi berat Joker tetap tersenyum, bahkan lukisan di wajahnya membuat senyuman itu abadi. Senyuman yang tak mungkin dibalas oleh Batman, apalagi Wonder Woman.

Sebuah episode memberikan kesempatan kepada Joker untuk menjelaskan bahwa dia menderita Pseudobulbar Affect (PBA), gangguan pada sistem saraf yang membuat seseorang tetiba tertawa atau menangis. Joker mengoceh, "Aku tidak politis. Aku hanya mencoba membuat orang tertawa".

Seorang politisi mengendong bayi rakyat lalu melempar senyum dalam sesi foto. Sampai kemudian mendapatkan kursinya. Tidak ada yang peduli apakah ia sedang memasang senyum palsu asimetris seorang Mona Lisa atau seringai Joker.

Keduanya bukan contoh baik. Mona Lisa bisa jadi adalah refleksi sang genius Leonardo da Vinci yang sedang tidak berniat tersenyum. Sehingga senyum itu palsu. Pemalsuan di manapun adalah kejahatan. Tapi Joker adalah penjahat, dan satu-satunya kejujuran yang ia miliki adalah senyuman. Senyum bahkan jadi paradoks dari zaman Adam.

Hati kita punya fitur yang bisa mendeteksi senyuman, tulus, terpaksa atau menghina. Maka bila senyuman justru membuat keadaan memburuk, masker lebih baik untuknya. Phyllis Diller membuat metafora senyuman sebagai sebuah lengkungan yang meluruskan segalanya. Senyuman dicakap-cakap oleh permikir klasik sebutlah John Locke, Schopenhaur, Spencer, Descrates dan Hartley.

Senyum tulus itu ibadah, senyum itu sedekah. Nabi Muhammad tersenyum dan tersenyum lebar sampai terlihat giginya. Patung Budha selalu terlihat tersenyum. Tapi hari-hari ini kita hanya tersenyum untuk diri sendiri. Dua orang yang melempar senyum di balik masker, telah menjalankan metode komunikasi yang gagal. Seperti pesan WA tanpa emoticon, kering dan misterius. Kita dipaksa mengaktifkan bahasa tubuh yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline