Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Sastra versus Filsafat dan Pulitzer untuk Ernest Hemingway

Diperbarui: 1 Desember 2020   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: nytime.com

Sastra dan filsafat adalah dua hal yang memunggungi. Dua bidang yang silang sengketa. Keduanya mengalami kawin paksa sejak Plato. Plato ingin mengusir Homer dari kota idealnya, karena sastra Homer bicara dusta tentang dewa dewi Olympus yang kadang liar dan menjahati manusia. Filsafat yang dingin dan rasional tentu saja membungkam Homer. Plato hanya ingin Homer pergi, tapi tidak sastranya.

Homer adalah sastrawan kuno paling sohor, darinya kita banyak tahu tentang mitologi Yunani. Sedangkan Plato adalah filsuf angkatan pertama yang menulis. Ia menulis Politeia tidak dengan kaku cara filsafat, tapi menghimpunnya di dalam diksi sastra, dalam dialog - dialog imajiner.

Agar metafora terbangun, sastra harus di depan. Sastra yang liar dan elok rupa tak henti bergelinjang di atas podium kata, tapi tanpa filsafat ia bisa nirmakna. 

Sastra mampu meruntuhkan bangunan pikiran yang menindas, tapi tanpa filsafat, ia akan abadi sebagai reruntuhan. Meminjam Martin Suryajaya, sastra menjebol, filsafat membangun. 

Selain Aristoteles yang menyusun ensiklopedia, hampir semua filsuf dunia bertutur cara sastra. Aristoteles dibangkitkan di jazirah Arab. Pun demikian, oleh filsuf Islam Averroes, Al Farabi atau Al Kindi misalnya, ia dielaborasi kembali secara sastrawi.

Mereka yang beraliran filsafat Peripatetik (masysya'iyyah) membuat sintesa antara ajaran-ajaran Islam dengan Aristotelianisme dan Platonisme, mencakup  Alexandrian maupun Athenian, juga ajaran-ajaran Plotinus dengan perpaduan wahyu Islam. Induk semang dari peripatetik adalah Aristoteles yang rigid.

Utopia yang ditulis Sir Thomas More terbit pada 1516 adalah karya filosofis yang dibangun secara sastra fiksi dan satire sosio-politik. Berbagai aliran filsafat mulai neoplatonisme hingga eksistensialisme seperti novel Sartre jamak memakai sastra sebagai medium penyampai.

Bukan pula sastra yang bergantung kepada filsafat. Sastra bisa pergi sendiri secara dirinya. Tanpa menggendong filsafat, sastra tetaplah sastra. Sastra juga bisa menjadi kenderaan makna bagi dogma. Atau wahyu memang perlu disampaikan dengan cara indah. Kitab suci seperti Al Quran datang sebagai kesempurnaan sastra yang dikagumi. 

Ada 4.200 agama di dunia, mereka menyusun kidung dan bait puja puji kepada tuhan, juga mantra-mantra dan aji - ajian sastrawi kepada dewa. Mereka meminjam sastra, bukan sastra itu sendiri, kecuali kita ingin menyandingkan dogma dengan fiksi.

Filsafat yang bersembunyi di dalam kabin akal, adalah ia yang kaku beku dan tak terusik. Filsafat menghimpun nilai-nilai universal yang paling ideal, dan membebaskan diri dari kotak-kotak sempit fanatisme. Berpusat kepada logika dan teraju kebenaran yang terverifikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline