Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Menundukkan Akal dengan Metafilsafat

Diperbarui: 1 Januari 2021   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Socrates adalah penggambaran yang tepat untuk para pemikir filsafat. Ia terus bertanya dan mematahkan jawabannya. Socrates tidak berguna pada masanya, pun kini. Filsafat adalah sang pembunuh waktu bagi mereka yang butuh fungsi. Filsafat dibenci bahkan diburu karena ia adalah pemenang hampir atas semua debat.

Filsafat melihat manusia tidak berpijak di atas tanah. Mereka hanya bertahan dengan cara menyedihkan di atas lapisan es yang di bawahnya adalah air yang dasarnya jauh. Prinsip, nilai-nilai, dogma, budaya, dan teori apapun oleh siapapun, akan ditanya ulang oleh filsafat. Filsafat mungkin tak punya teman, ia menyudut dan menghindari perdebatan.

Orang-orang yang belajar filsafat adalah orang yang membenturkan kepalanya ke tembok. Saya melihat mereka membaca teks - teks yang sulit. Dalam bahasa Indonesia saja sudah sulit, mereka bahkan membaca teks asing dan mendiskusikannya. 

Semua jawaban atas pertanyaan dianggap rapuh, mereka akan bertanya apalagi yang ada di balik jawaban, di baliknya lagi, dan terus, sampai jawaban itu melakukan serangan balik atas pertanyaan.

Filsafat adalah talenta yang dibawa sejak lahir. Orang - orang bisa saja membaca berbagai-bagai buku filsafat atau langsung kuliah di jurusan itu, tapi memberhentikan filsafat menjadi sebatas ingatan, lalu bertekun kepada hal-hal permukaan, agar bisa makan.

Filsafat dalam sejarah kesendiriannya pernah diajak berdamai oleh teologi. Paling tidak oleh Ibn Rusyid atau Averroes (1126-1198) atau Thomas Aquinas (1225-1274). Tapi hubungan itu tidak langgeng, filsafat memiliki sifat agnostik, tidak betah berlama-lama dalam opium dogma.

Aristoteles membuat gejala ini menjadi mungkin. Ia meletakkan Tuhan terlalu tinggi, mengawali semuanya dan membiarkan dunia sibuk sendiri. Epicurus atau Demokritus, para filsuf alam ini sejak awal ingin melepas Tuhan. 

Ribuan tahun setelahnya, misalnya Ludwig Feuerbach (1804-1872) melahirkan filsafat materialisme, satu aliran filsafat yang radikal, sehingga filsafat tersudut pada stigma dapur pacu bagi ateisme.

Seharusnya siapapun yang percaya kepada teori Darwin akan tergelincir kepada peniadaan Tuhan dalam penciptaan. Atau tentang teori Big Bang yang melihat bumi sebagai super debu kosmik, dengan mengapa Tuhan hanya fokus pada sebutir debu, dalam kemahaluasan jagat. Di dalam super debu itu, Tuhan justru muncul secara parsial, partisan, dan terfragmentasi. Disembah oleh 4.200 agama di dunia.

Satu sisi lain dari filsafat adalah meninggikan Tuhan melebihi para penganut yang hanya bergantung pada teks, ketika dogma membentengi dirinya pada pertanyaan akal. Iman menjadi pembenar, walaupun filsafat melihatnya tuhan sebagai tidak logis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline