Saya menggarisbawahi Friedrich Nietzsche. Orang ini menjadi sulit dibantah secara filsafat. Sebutnya, kebenaran itu tidak ada. Anda boleh benar sampai ditemukan fakta baru. Kebenaran hanyalah kesalahan yang tertunda. Dan Nietzsche adalah orang gila yang tertunda.
Saya mencoba memahaminya begini, bila Anda bilang sedang ada di ruang X, dan faktanya Anda memang ada di sana, Anda benar. Tapi pada saat yang sama, kucing di balik tembok mengatakan Anda tidak di sana. Karena ada tembok, kucing tidak melihat fakta itu. Anda benar, sampai Anda bergeser ke ruangan lain, dan pada detik yang sama, kucing itu menjadi benar: Anda tidak ada di sana.
Bila Anda bertahan, Anda memang di sana pada jam dan menit sekian, Anda mungkin benar dalam perspektif materialisme. Lalu siapa yang bisa membuktikan Anda ada di sana. Anda sendiri? Jangan-jangan Anda sedang berhalusinasi.
Oya, jangan terlalu menempelkan kebenaran pada materialisme atau kenampakan fisik, karena materialisme adalah pintu masuk ateisme. Paragraf ini adalah semacam simulasi pikiran, apakah saya sedang menyatakan kesalahan yang tertunda, atau kebenaran yang bertahan lebih lama. Paling tidak saya mencoba keluar dari pikiran Nietzsche yang sejak pertama menggasak spritualisme.
Kebenaran dalam filsafat adalah kebenaran definitif, dan kebenaran kata Nietzsche dibicarakan dalam bingkai perspektif. Tidak ada kebenaran absolut, kecuali bila kita memasuki wilayah dogma. Karenanya selain di titik didih pada proses "membunuh tuhan" dalam Die Frohlice Wissenschaft, Nietzsche adalah teror bagi kaum dogmatik.
Skeptis terhadap kebenaran adalah kunci tertumbuhnya kesadaran baru. Berabad-abad manusia bertahan dalam kebenaran dogma geosentris bahwa bumi adalah pusat semesta. Sampai Copernicus dan Galileo mengibarkan mataharilah pusat tata surya.
Heliosentris dalam persfektif Barat dibapaki oleh Copernicus, biarpun astronom Islam Ibn Al-Syatir adalah pelopornya. Jauh, jauh sekali ke belakang, pada 300 SM, Erathosthenes dari Alexandria sudah mengkonfirmasi, bahwa bumi ini bulat, tapi siapa yang peduli.
Di sini Nietzsche ingin bilang bahwa pengetahuan manusia tidak pernah absolut, sehingga manusia tidak butuh mengoleksi pengetahuan seperti barang antik. Pengetahuan hanyalah tafsir terhadap realitas, dan bukan realitas itu sendiri.
David Hume lebih kejam lagi, pengetahuan itu katanya bahkan tidak pernah ada. Yang indrawi bagi nabi empirisme John Locke sebagai pengetahuan yang valid, dicoret oleh Hume. Pengetahuan bagi Hume adalah kumpulan citra atau kesan. Seperti film animasi, kita melihat objek hidup dan bergerak, padahal hanyalah susunan gambar mati yang sangat rapat.
Pemikir dunia punya raksasa bernama Immanuel Kant yang mampu memadukan dua arus besar filsafat yakni empirisme dan rasionalisme, antara logika induktif dan deduktif sekaligus. Namun pikirannya dibantai oleh Nietzsche secara belum terbantahkan.