Apa yang dapat dilakukan oleh uang sebesar Rp 25,59 triliun? Banyak sekali tentunya. Uang segitu jika dalam pecahan Rp 100.000 akan seberat 32,2 ton yang disusun dalam 10 peti kemas seukuran 40 feet. Uang segitu bisa membangun 51.180 gedung sekolah seharga Rp 500 juta.
Mungkin Anda ingin membangun jembatan? Kita ambil contoh jembatan Barelang di Batam yang berjumlah enam buah dengan biaya total Rp 460 miliar. Dari uang sebanyak Rp 25,59 triliun, jembatan yang menjadi landmark abadi pulau Batam ini dapat dibangun sebanyak 57 buah X 6 sehingga totalnya menjadi 342 jembatan atau separuhnya untuk nilai uang sekarang. Sebutkan apa lagi?
Dan uang sebanyak itu yang menguap dalam proses Pemilu 2019 lalu, di ujung nafasnya yang terengah-engah penuh drama, hanya menghasilkan kompromi politik tingkat elite dengan kebutuhan energi setara mufakat alun-alun desa.
Tak dapat disebut sudah berapa besar biaya kontestasi demokrasi yang ditanggung oleh negara, yang tersusun dari setiap tetes peluh anak bangsanya. Demokrasi telah menggerogoti dirinya sendiri. Lalu kita bisa apa? Bukan salah demokrasi tentunya. Berapa ratus atau ribu triliun lagi di masa depan, kocek-kocek rakyat yang perlu dirobek untuk membiayai pesta pora demokrasi macam begini.
Politik baunya terlalu amis untuk filsafat. Kata kunci politik adalah oligarki yang meminjam merek demokrasi. Ini akan selalu terus menerus mengamini kerisauan Martin L. Gross: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah menggantikan filsafat. Atau Napoleon Bonaparte yang pernah berkata "en politique, une absurdit n'est pas un obstacle" - dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan.
Jika filsafat diizinkan untuk berbicara tentang uang Rp 25,59 triliun, ia mungkin hanya menggunakan 10 persen untuk melakukan riset mati-matian dalam menemukan siapa manusia terbaik yang bisa menjadi pemimpin bangsa Indonesia, bagaimana menyusun kabinet terbaik dan seterusnya. Ilmiah, terukur dan tahan uji.
Tapi tabiat politik adalah kekuasaan, dan tidak akan pernah presisi dengan jalan lurus filsafat, ini yang menyebabkan Napoleon selalu benar.
Panggung politik mulanya laksana meja besar di kasino. Sebuah perjudian raksasa yang biayanya ditanggung oleh rakyat jelata. Setiap perjudian akan menghasilkan situasi menang-kalah seperti teori Zero Sum Game. Keuntungan yang diraup oleh pemenang setara dengan kerugian yang diderita oleh pecundang. For every winner there is a loser and winners can only exist if losers exist, kata Lester C Thurow, Profesor Ekonomi yang memopulerkan istilah Zero Sum Society. Artinya pemenang hanya bisa ada jika pecundang juga ada.
Kelihatannya terlalu besar risiko yang harus ditanggung pemenang bila semua kue dimakan sendiri. Mereka harus membeli kenyamanan dengan menawarkan sebuah irisan kepada rival. Dalam ekonomi sebut saja sebagai trade off atau win-win solution. Lalu kuadran zero sum game pun bergeser. Risiko otomatis beralih -dan selalu- ke jelata. Dibantah atau tidak dibantah, sebuah oligarki bentuk baru sudah tercipta.
Dalam kajian civil society para pakar menempatkan kepentingan jelata terpisah dari kepentingan state (pemerintah atau pengambil keputusan). Saat ini tidak ada lagi Presiden X atau Y, yang ada hanyalah Negara versus Rakyat.