Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Manusia di Hamparan Debu Kosmik

Diperbarui: 15 Mei 2019   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: ariid.com

Dalam satu detik, cahaya melesat dengan kecepatan hampir 300.000 kilometer atau tujuh kali keliling bumi. Dalam setahun, cahaya mampu menjalar melintasi jarak 10 triliun kilometer. Dan kita berada di dunia nebula yang tepiannya berjarak delapan miliar tahun cahaya dari bumi.

Dalam ruang antargalaksi, bumi yang kita tinggali tidak hanya debu tapi super debu, karena begitu kecilnya. Di planet ini diri kita yang sehalus amuba bisa terbahak, berlagak menjadi maha. Sedikit saja bumi bergeser dari garis edarnya mendekat atau menjauhi matahari, kita akan terbakar atau membeku.

Atau perhatikan bulan yang berwajah bopeng. Kawah-kawah itu dibentuk dari tabrakan serpihan komet dan meteor, yang terbentuk dalam miliaran tahun. Sebanyak itu pula tabrakan yang sudah menghantam bumi, dan kapan-kapan akan berulang. Satu tabrakan melebihi kedahsyatan bom atom.

Bumi adalah debu yang sangat tua, mengelilingi satu bintang sepuh yang menunggu padam. Kita menyebutnya matahari. Dahulu kala beberapa agama menyembah matahari yang dianggap maha jagat raya, padahal matahari hanyalah satu dari ratusan miliar bintang yang dihimpun dalam galaksi Bima Sakti.

Bima Sakti tak sendiri, di seluruh jagat raya ada miliaran galaksi. Kenaifan menciptakan tuhan-tuhan, sedangkan berabad-abad sebelum mereka Erathosthenes yang hidup 300 SM sudah secerdas ini: ia berhasil mengukur keliling bumi dengan sudut tujuh derajat antara Alexandria dan Syene serta mengkonfirmasi bahwa bumi ini bulat. Erathosthenes menggunakan matahari sebagai objek risetnya, bukan sebagai Tuhan.

Dengan kepuasan diri yang tak terbatas, manusia mondar mandir di bumi ini dengan urusan remeh mereka, merasa damai dan yakin akan penguasaan mereka. Ini adalah petikan dari kalimat pembuka dalam fiksi sains klasik The War of The World karya H.G. Wells (1897).

Padahal kata Wells, mungkin saja manusia sedang diperiksa dan diteliti hampir secermat seorang peneliti makhluk fana Mikroba yang miliaran banyaknya dalam setetes air di bawah mikroskop. Wells dalam fiksinya mengingatkan ada makhluk lain dari planet yang lebih tua yang akan menjadi sumber bahaya bahkan mungkin sesuper jentikan jari Thanos. Maka kita lenyap.

Atau paling tidak bila tak ada makhluk antargalaksi yang sedang mengamati kita dari kejauhan, pasti ada super kosmos yang kita sebut Tuhan. Dengan cara apa kita akan lari dari pengamatannya. Dengan cara apa kita menahan jentikannya untuk membebaskan kita dari akhir dunia?

Yang kita tahu, planet biru kita adalah tempat berdiam yang paling menghidupkan. Tiupan angin menyejukkan dari atmosfer yang tebal dan ultraviolet yang ramah. Bila bumi menghadap matahari dan semua planet dalam posisi sejajar, maka di depan kita ada Venus. Ia adalah saudara perempuan bumi yang berwarna putih susu. Venus begitu memesona dengan caranya sendiri.

Kata Carl Sagan dalam Kosmos, banyak pahlawan dalam mitos Yunani dan Skandinavia melakukan upaya - upaya mengagumkan untuk mengunjungi neraka. Neraka itu adalah Venus. Dengan suhu mematikan, badai, radiasi dan gas berbahaya, inframerah dan sinar matahari yang terperangkap, adalah sedikit kisah tentang Venus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline