Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Lima Tahun Menulis di Kompasiana, Saatnya Membuat Pengakuan Dosa

Diperbarui: 28 Maret 2019   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: annirvingadvertising.com

#Apologia

Kita mengenal 26 alfabet Romawi dan saya harus mempertimbangkan 26 karakter apa yang akan digunakan untuk memulai tulisan ini. Seperti kebanyakan orang yang menginginkan penghindaran elegan dari potensi konflik, adalah dengan memulainya dari huruf A: (A)pologia. Untuk sementara itu akan terlihat adil.

Apakah kemudian huruf Z adalah kutukan seperti kita menyebut (Z)ombie atau orang yang saban waktu mengantre di barisan terbelakang? Kutukan hanya mitos ketika ia bisa dihindari oleh kehendak bebas. Nama yang kita sandang adalah bukti bahwa kita telah diikat oleh gagasan masa silam.

Adalah kehendak bebas dari mereka yang hidup sebelum kita tapi menulisnya -untuk tidak sepenuhnya bebas- dengan huruf yang ditentukan oleh orang kuno dari Semenanjung Italia. Mengapa kita menggunakan aksara Latin atau Romawi selama lebih dari 2.000 tahun terakhir? Karena ia memiliki daya ikat yang melebihi alfabet apapun yang pernah ada.

Padahal bangsa Romawi bukanlah penemu huruf paling awal, mereka meminjam dari Aksara Etruska untuk memulai huruf Latin Kuno. Etruska mengadopsi alfabet Yunani dan mencontoh abjad Fenisia yang didahului oleh Proto Sinaitik dan berhulu kepada Hieroglif Mesir. Lalu mengapa bukan Hieroglif Mesir? Apakah Augustus lebih hebat dari Fir'aun?

Di sini spirit glorifikasi memainkan perannya. Sejarah ditulis oleh pemenang, bahkan menyediakan huruf-hurufnya. Bahkan bila Anda butuh informasi waktu kapan sejarah itu pernah ditulis, mereka sudah membuat sistem penanggalan Kalender Gregorian (1582 M), yang dipatuhi masyarakat dunia sampai hari ini. Dengan seperti menutupi, bahwa angka (numeric) pada sistem penanggalan itu sebenarnya dijemput dari bangsa Arab.

Apologia, berarti saya mengatup kedua telapak tangan, memohon maaf atau semacam pengakuan dosa. Tulisan - tulisan saya di Kompasiana selama ini mengandung paradoks. Bahkan satu gagasan kontradiktif dengan gagasan lain. Suatu hari saya menolak neoliberalisme, dan di lain waktu memberinya peluang. Pada Jumat sore dua tahun sebelumnya saya mencerca ateisme, Senin pagi tahun kemarin saya memberikan ruang kepada agnostik mempertanyakan eksistensi Tuhan. Mengecam xenophobia Donald Trump di satu sisi kemudian membelanya di sisi yang lain.

Meski berpegang teguh kepada teori Sudden Creation penciptaan manusia oleh Super Kosmos, Allah Tuhan Yang Maha Esa, namun saya juga tergoda kepada cikal bakal Sapiens yang ekuivalen dengan sabda evolusi Charles Darwin.

Bahkan atas semangat holistik dan keadilan sejarah saya memasuki literatur Yahudi sampai Zionisme atau doktrin Karl Marx -tiga seri Das Kapital misalnya- untuk melihat cara mereka berpikir. Saya mengangguk kepada Adam Smith, lalu berhenti sampai penganutnya menyisakan bercak darah di panggung sejarah.

Genosida di tanah koloni, perbudakan Afrika dan pengisapan terhadap negara Asia dan Sub Sahara adalah sisi gelap kapitalisme yang setidaknya digurui tanpa sengaja oleh Smith. Demikian pula diktatorial komunisme Marx yang gagal di mana-mana dan proses ke mimpi utopia kaum proletar yang mendentangkan lonceng kematian pada jutaan manusia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline