Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Xenofobia Trump dan Utopia Amerika

Diperbarui: 18 Januari 2019   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Donald Trump (Foto: sputniknews.com)

Berbicara ironi Batam dan Singapura tempo hari, di belahan bumi lain ada kondisi yang lebih ekstrem. Surga dan neraka hanya dibatasi tembok. Ini adalah tentang kota Nogales di Arizona, Amerika Serikat sekaligus juga Nogales, Sonora milik Meksiko.

Nogales Arizona memenuhi standar Amerika dengan pendapatan per kapita USD 30.000 per tahun, serta layanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas publik berskala penuh. Sedangkan Nogales Sonora adalah seluruh kebalikannya. Mereka tentu saja tidak bebas saling menyeberang kecuali menyelinap, yang bebas hilir mudik hanyalah kuman penyakit.

Nogales Arizona dengan layanan kesehatan prima dan sanitasi yang baik rutin mengirim balik penyakit itu ke saudara "satu kotanya". Nogales Sonora adalah potret kota kumuh di bawah asuhan Negara ketiga, standar Amerika Latin. Kota ini terbelah pada 1848 usai perang sengit Meksiko - Amerika.

Sumber daya alam di masa lalu adalah kutukan bagi pemiliknya. Benua Amerika Selatan yang kini adalah Meksiko, Guatemala, Kolombia, Brazil, Peru dan seterusnya, 500 tahun lalu adalah bekas reruntuhan budaya Aztec, Maya dan Inca yang memiliki gunung emas. Spanyol datang untuk  menguras semuanya. Mereka menggunakan siasat menawan para raja dan menjadikan mereka tawanan, boneka, atau tameng.

Kawanan penjahat keji Spanyol adalah Gubernur Jenderal untuk provinsi baru di seberang lautan. Mereka adalah Hanan Cortes untuk Aztec dan Maya, Fransiscus Fizzaro untuk Inca, dan De Toledo yang bertugas untuk menyedot bukit perak di pegunungan Andes, setelah emas menipis. Sambil tentu saja menumpas pemiliknya.

Kaisar Aztec Atahualpa ditawan setelah Cortez membasmi 2.000 pengawalnya. Seluruh peradaban Aztec hancur dan apapun yang bernilai emas digasak. Atahualpa bernegosiasi demi kebebasannya dengan memenuhi satu bilik dengan timbunan emas, dan dua bilik lagi berisi penuh perak. 

Atahualpa berhasil, tapi dia tetap dicekik sampai tewas pada Juli 1533. Nasib sama menimpa raja lain bernama Bogota. Tak kuat disiksa, dia menyanggupi mengisi sebuah rumah dengan emas, tapi Bogota harus tewas karena target tidak terpenuhi.  

Orang - orang Spanyol datang lebih awal dan tidak menyisakan apapun. Inggris yang datang terlambat, hanya menyaksikan sisa-sisa penghancuran lalu mendirikan koloni di tanah miskin Amerika Utara, cikal bakal Amerika Serikat sekarang. Sudahlah tak punya apa-apa, Amerika Utara dipimpin oleh raja Indian yang cerdik cendikia bernama Wahunsunacock. Tidak ada perundingan, upeti bahkan makanan. Inggris datang hanya untuk mengantar nyawa mereka, sampai kemudian menemukan apa yang bisa ditanam.

Dari kesulitan demi kesulitan di wilayah koloni inilah yang melahirkan Negara Amerika Serikat yang dideklarasikan 14 Juli 1776. Adalah fakta kuat bahwa kekayaan alam adalah kutukan. Negeri-negeri berlimpah emas dahulu kala, kini adalah barisan negara miskin yang sibuk berkelahi sesama sendiri di bawah sistem pemerintahan yang ekstraktif. Sedangkan Amerika Serikat melesat ke puncak tertinggi peradaban dengan dua kata kunci yang berjalan konsisten: Kapitalisme dan Demokrasi.

Kita bisa diingatkan dengan bumi intan berlian di Afrika, yang hancur dan berdarah-darah. Diamuk oleh politik kekuasaan dan perang saudara, sementara para penjarahnya adalah negara - negara yang mengaku terhormat. Kalau boleh menebak, Amerika Serikat tidak akan pernah ada, jika ras Kaukasia - Anglo Saxon tidak tinggal dan menetap, melawan saudara sedarahnya sendiri yang menindas, menggerakkan revolusi, serta menjalankan Bill of Right dengan cara yang lucu: mengumpul berkapal-kapal budak dari Afrika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline