Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Biarkan Hang Tuah Tinggal dalam Lingkaran Mitosnya

Diperbarui: 7 Maret 2021   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infografis: File Rida K Liamsi

Epos Laksamana Hang Tuah menggelinding di antara mitos dan fakta. Kedua irisan ini akan tarik menarik sepanjang hikayat Melayu. Menarik untuk mengupas epos Hang Tuah ini ke dalam empat ide dasar sejarah umat manusia: mitos, sastra, filsafat, dan ilmu.

Dimulai dengan menjawab tanya mengapa tulisan saya selalu sulit memisahkan diri dengan historika filsafat Yunani. Bukankah ada filsafat Timur dan filsafat Islam? Baiklah, setiap sejarah punya masa keemasannya. Tidak ada yang benar-benar emas ketika di dalamnya tidak terhias oleh kekaguman mitologis.

Ini kedengarannya agak licik, bila untuk glorifikasi sejarah moyangnya, umat post-modernis masih bergelayut kepada mitos  yang sejak zaman Aristoteles sudah mulai dienyahkan demi memulai pertapaan di atas batu logika. Tidak ada yang muskil bila kita mulai meminjam telunjuk filsafat guna memberi tahu di mana benang merah itu.

Filsafat Barat dan Filsafat Islam secara metodologis memiliki kesamaan yang sangat kuat terutama dalam hal logika analisis-nya. Paling tidak seperti dikuatkan oleh Prof. Yuval Noah Harari dalam Sapiens, bahkan disebutkan sejarah filsafat Islam memenuhi ruang kosong yang begitu lama terendapkan ke dalam bumi Yunani ketika orang-orang Barat kehilangan jejak Aristoteles dalam masa seribu tahun. Begitu banyak literatur yang menjelaskan hal ini, bila ada yang mengatakannya abu-abu. 

Mungkin kita bisa melihat kaitan antara Averros (Ibnu Rusyd) dan Avicena (Ibnu Sina) dengan Aristoteles serta Jalaludin Rumi dengan Plato.

Sejak Parameswara atau Sultan Iskandar Shah (1344 - 1414), mitologi dan kesejarahan Melayu mulai berpelukan ketat dengan teologi Islam. Ini untuk menjawab pencantuman filsafat Barat dalam diskursus kemelayuan bukanlah dua hal yang dipaksa-paksakan.

Sedangkan Filsafat Timur tidak begitu identik dengan dogma mayoritas Melayu. Filsafat Timur berkiblat kepada Konfusianisme oleh Confucius dan Tao oleh filsuf Chuang Tzu. Apatah dari segi metodologinya, Filsafat Timur menggunakan logika sintesis yang berbeda dengan teks-teks Islam maupun Barat pada umumnya.

Terlihat mencolok ketika misalnya Chuang Tzu yang mensintesis (menyetarakan) segala macam hal yang berlawanan. Ketika Islam telah membuat pembedaan yang tegas antara siang dan malam, lelaki dan perempuan, dahulu dan masa depan serta seterusnya.

Kemudian dari sisi mitologis, kita sudah dikisahkan bahwa Maharaja Melayu Sang Sapurba adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain, untuk kemudian kita harus menerima bahwa belum ada tembok besar yang memisahkan antara Iskandar Zulkarnain dengan Aleksander Agung dari Makedonia, Yunani.

Aleksander adalah murid privat dari Aristoteles. Sang filsuf menghabiskan waktu cukup lama dalam menurunkan filsafatnya sebagai campuran idealisme Plato (cara filsafat yang kemudian dibangkanginya) dengan filsafat realisme miliknya sendiri kepada Aleksander.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline