Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Metafisika dan Kotak Pandora Ratna

Diperbarui: 21 Oktober 2018   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratna Sarumpaet (Foto: bintang.com)

Manusia primitif menjalankan hidupnya dengan narasi mitos. Lalu datanglah filsafat untuk mendebat mitologi yang dimulai oleh Thales. Filsuf mulanya tidak membabat habis mitos itu, namun menyisakan sedikit untuk ruang keyakinan. Tapi begitu ilmu pengetahuan datang, ia langsung mengatur jarak sejauh-jauhnya dengan mitos, bahkan sampai ke ujung tapal batas, mereka membabat habis dogma.

Manusia yang terlalu memuja pengetahuan, akan sampai kepada eksistensialis-atheisme, untuk menancapkan bendera sains di atas segalanya. Dogma logos atau firman Tuhan dijadikan sebagai bagian dari mitos belaka. Beberapa filsuf yang mendampingi cara berpikir ini di antaranya Thomas Hobbes dan Karl Marx dengan Atheis-Materialisme lalu Friedrich Nietzsche dengan Ateistik Eksistensialisme-nya.

Semisal gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, ilmuwan geoscientist akan punya argumentasi ilmiah terhadap sebab-sebab bencana itu, tapi para tradisionalis mengembangkan narasi-narasi mitos dan secara dogma atau logos pula, akan ada penjelasan tersendiri yang dikaitkan dengan ujian dan murka Tuhan atas dosa manusia.

Ketiga sudut pandang ini tidak dapat disatukan sampai kapanpun, kecuali bila kita menggunakan cara kerja filsafat. Namun tidak semua filsuf sampai ke taraf kedewasaannya. Seperti dinyatakan oleh DR Stephen Palmquist dalam The Tree of Philosophy, hanya Immanuel Kant yang memiliki kedewasaan penuh di antara pesatnya aliran-aliran filsafat Barat yang umumnya egosentris.

Kant berdiri di antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles dengan menyetujui bahwa manusia berada dalam pergerakan antara pengetahuan yang nirmustahil dengan kebebalan niscaya. Kant mencetuskan filsafat analitik yang menjadi penyeberang dari filsafat eksistensial yang pada puncak tertentu mereka menjadi sangat sombong dengan eksistensi keilmuannya.

Bila ilmuan sudah melalaikan logos -sebagai hasil dari kerja sembrono untuk memisahkan fakta dengan imaji- maka sebenarnya ia sedang berada dalam keterasingan modern. 

Kant ingin agar ada keseimbangan antara transendental (di luar akal) dengan empiris (yang nyata). Sehingga inilah intisari filsafat yang merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan manusia. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat ketakjuban seperti taburan gagasan filosofis dalam  Alice in Wonderland.

Palmquist menyebut, sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. 

Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang -karena ingin istilah yang lebih baik- bisa kita sebut super-sadar (super-conscious).

Dari penjelasan Palmquist, kita dapat menyimpulkan sebenarnya dalam diri manusia sudah ada cara-cara kerja filsafat tanpa perlu kita bersusah-susah untuk melepaskannya dan memindahkan beban tugas penyelidikan kesadaran kepada filsuf semata. Langkah yang dilakukan adalah menggunakan metafisika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline