Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Berhentilah Bicara Lain Jika yang Satu Ini Tidak Selesai

Diperbarui: 22 Oktober 2018   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.cdn.com

Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare state) mestinya menjadi sebuah kebenaran perenial yang mencakupi zaman, agama, peradaban dan kebudayaan. Sayangnya hanya sedikit negara di dunia ketiga yang mengimaninya. Bahkan beberapa negara gagal menganggap bahwa welfare state hanyalah utopia yang diigaukan para jemaah Platonik. Kita patut nyinyir untuk mengingatkan bahwa Indonesia secara falsafah mutlak memiliki pijakan welfare state.

Dari beberapa rezim selalu ada gejala untuk melemahkan daya juang welfare state  untuk menegaskan bahwa kita sedang terhubung kepada tatanan global beraroma kapitalis-liberal. 

Untuk itu kita butuh kemampuan membaca gejala (symptomatic reading) terhadap upaya-upaya rezim untuk membelakangi welfare state, yang berarti adalah sebentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.

Menjadi alasan yang dibuat-buat bila liberalisasi ekonomi memunculkan pengabaian terhadap hajat hidup rakyat. Faktanya, semakin terbelakang sebuah negara, semakin jauh pula ia dari label welfare state.

Sejumlah negara maju macam Inggris dan Selandia Baru menyediakan social security, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services) kepada rakyatnya.

Bahkan Amerika Serikat memasukkan orang miskin, cacat dan pengangguran dalam daftar penerima welfare tunai. Di Timur Tengah seperti Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, atau Brunai Darussalam di Asia Tenggara memberikan limpahan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa syarat. 

Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungan demokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme. Para pakar menaruh perhatian khusus pada cara Jerman, Britania Raya dan negara-negara lain dalam mengembangkan sistem kesejahteraannya secara historis.

Negara-negara hebat yang menganut konsep welfare state itu meliputi negara Nordik seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Mereka menerapkan sistem yang dikenal dengan istilah model Nordik. Esping-Andersen mengelompokkan sistem negara kesejahteraan paling maju menjadi tiga kategori: Demokratik Sosial, Konservatif, dan Liberal. Artinya negara paling liberal sekalipun tidak pernah abai terhadap isu-isu kesejahteraan publik.

Dalam perspektif paling kini, negara kesejahteraan didefinsikan sebagai konsep pemerintahan ketika negara mengambil fungsi penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya, ketimbang hal-hal lain yang bersifat simbolik.

Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan (equal oportunity), distribusi kekayaan yang setara, serta tanggung jawab masyarakat kepada kaum papa untuk memenuhi persyaratan minimal hidup layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial.

Gejala pengingkaran terhadap welfare state segera tampak kasat mata, bila negara tak mampu menyediakan paket-paket kesejahateraan berupa biaya hidup terjangkau. Kemudian lenyapnya subsidi dan meningkatnya pungutan serta di antara program yang berpotensi semakin menjauhkan rakyat dari sejahtera. Berhentilah bicara soal-soal lain, jika ini tidak selesai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline