Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Kepada Mereka yang Sedang Mengepung Istana Negara

Diperbarui: 22 Oktober 2018   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: shutterstock.com

 

Mereka sedang mengepung istana negara. Mereka datang bukan untuk menjadi volunter atau pekerja sosial, tapi demi kekuasaan. Apakah sedang memihak petahana atau oposisi, itu sama saja: untuk menjadi tuan mereka menampilkan dirinya sebagai pelayan.

Demi kebebasan berpikir, kosongkan semua hasutan kampanye dari pikiran kita. Karena banyak dari mereka mula-mula datang dengan untaian janji sebentuk puisi, kemudian setelah memerintah mereka menggunakan prosa untuk menjelaskan bahwa janji itu tidak bisa ditunaikan.

Mereka telah sekian lama membuat keadaan tampak rumit agar mereka punya alasan untuk berpuisi. Tapi kenanglah kata-kata Martin L. Gross: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah menggantikan filsafat. Saya akan sependapat jika ada yang mengatakan, bila seseorang sedang mendekati filsafat maka ia sedang menjauhi politik.

Narasi-narasi dalam politik tidak jujur untuk sesuatu yang mereka sembunyikan. Bahwa politik tak kan sanggup menyentuh semua seperti filsafat melakukannya. Di dunia nyata filsafat tampak seperti igauan orang-orang tua berjanggut yang sering bertapa di Acropolis, Yunani kuno. Tapi demi kebaikan dan ketinggian akal budi, filsafat harus dijalankan, apatah lagi ketika dogma semakin dianggap sebagai alat belaka.

Di bawah payung demokrasi, satu, dua, tiga partai dan seterusnya selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan bahwa partai lain tidak cocok untuk memerintah. Partai lain dari kelompok lawan juga melakukan hal yang sama. Jika mereka sedikit berfilsafat, mereka akan sadar bahwa semua itu adalah produk bualan karena negara dapat dijalankan begitu saja dengan Cetak Biru terbaik.

Kerahkan seluruh orang hebat, pakar, begawan, super ahli ini itu dari seluruh disiplin ilmu dalam satu wadah. Tugasi mereka memaksimalkan potensi tertingginya untuk merumuskan Cetak Biru atau blueprint Indonesia dengan tingkat keakuratan mendekati 100 persen. Jika plan A gagal, maka ada plan B, atau C dan seterusnya hingga negara ini paripurna. Tanpa harus menunggu banyak hal yang tidak penting melompat dari mulut juru kampanye.

Seperti yang diucap Plato ribuan tahun lalu, mereka yang terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik dihukum melalui pemerintahan oleh mereka yang lebih bodoh. Orang-orang cerdas yang berpotensi menciptakan Cetak Biru Indonesia mungkin saja telah dijungkal karena politik menolaknya. Maka sebaiknya Cetak Biru itu dirumuskan dan diadopsi menjadi haluan negara, untuk memastikan bahwa negara ini menemukan utopia-nya meskipun demokrasi kita -hampir selalu- gagal menemukan pemimpin yang tepat.

Biarlah para pengepung Istana Negara membentuk sejarahnya sendiri-sendiri seperti paduan suara orang-orang yang sedang ketawa serentak, namun biarkan negara ini berjalan secara auto pilot melalui karya agung Cetak Biru-nya. Dan biarkan kaum milenial di atas permukaan, memuaskan olok-olok dan debat parsialnya yang nirfaedah, sampai hidayah itu tiba.

Indonesia hari ini seperti Laut Merah yang dibelah Musa. Mereka yang di seberang sini dan di seberang sana, para elit-nya hanya punya satu tujuan yakni kekuasaan dan kenikmatan-kenikmatan di dalam istana. Apakah di pihak petahana atau oposisi, itu adalah soal seni melempar dadu atau susunan puzzle. Politik identitas bahkan mulai terlihat seperti  instrumen belaka untuk membuat perebutan kekuasaan tampak dramatis dan paling bersejarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline