Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Dilema Pengeras Suara Azan

Diperbarui: 6 Juli 2018   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: mytransparantwings.wordpress.com

Kau bilang Tuhan sangat dekat tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat

(KH. A. Mustofa Bisri alias Gus Mus, 1987)

Potongan puisi ini mengendap 30 tahun sampai seorang politisi membacanya kembali. 

Kalau yang dimaksud itu azan, pasti pesohor religi sekelas Gus Mus sangat tahu bahwa itu bukan untuk memanggil Tuhan. Keseluruhan isi puisi berjudul "Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana" itu sempurna, kecuali bait yang satu ini. Bingung!

Speaker menjadi sensitif hari-hari ini begitu ia disudutkan. Alexander Graham Bell dan Charles Parsons yang memegang hak paten speaker tidak sangka jika pada suatu masa di Indonesia temuan mereka menjadi ikon di antara dua matahari kembar politik tanah air. 

Dari 14 abad lebih sejarah keislaman, speaker muncul di urutan ke-14. Pada 1876 speaker Bell baru berbentuk cetak biru dan setahun setelah itu diperbaiki oleh Earn Siemens. Butuh hampir seratus tahun pula untuk terpasang merata di kubah dan menara masjid Indonesia.

Begitu tiba di Indonesia nasib speaker hampir sama dengan kompas penunjuk arah kiblat dan kursi yang dibawa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan di ruang pengajian: dianggap bid'ah dan produk kafir. Sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, justru mengharamkan penggunaan pengeras suara pada 1970-an. "Karena tidak ada pada zaman Nabi," kata A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta, kepada Kompas, 12 Januari 1977.

Dalam catatan Historia orang-orang Indonesia menyebut pengeras suara sebagai TOA, sebuah merek dagang dari perusahaan alat elektronik asal Jepang. Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an. Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota. Mengalahkan merek lainnya yang muncul lebih dulu.

Masih dalam catatan Historia, G. F. Pijper, seorang Belanda peneliti Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an.

"Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara," tulis Kees van Dijk, "Perubahan Kontur Masjid," termuat dalam Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia. Van Dijk mengutip Studien over de geschiedenis van de Islam karya Pijper.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline