Di balik tirai penyingkapan manusia di fase awal, kita akan melihat api. Apakah itu kerlipan, kilatan atau kobaran. Api membuat manusia kuat di bumi untuk mengusir dan menguasai apapun. Lain dari itu, kitab suci sudah bercerita tentang makhluk api bernama Iblis yang berhasil membuat Adam dan Hawa terusir dari surga.
Penjinakan api adalah sebuah langkah raksasa. Dengannya manusia bisa memasak dan memakan dengan cepat. Sebab daging mentah butuh waktu lima jam untuk dikunyah. Para turis Zaman Batu mencatat destinasi wisatanya ke wilayah-wilayah pembakaran baru sambil memanen hewan, kacang-kacangan, serta umbi yang telah terpanggang api. Api menjadi wisata, seperti Nero membakar Roma dan menari dari kejauhan.
Singa dan srigala purba boleh melenggang sebagai makhluk kejam di hutan, tapi begitu seorang gadis kecil penghuni gua sudah mahir memantik api, para predator hutan manapun segera hangus atau tersingkir dalam waktu beberapa jam. Hutan - hutan dibakar untuk menjadi sabana, tempat tinggal baru, atau laluan. Secara domestik, api mampu melunakkan makanan, membunuh bakteri dan parasit, penerang sekaligus penghangat. Tapi lebih dari itu api telah pun membangun tembok yang tinggi antara manusia dan makhluk planet bumi lainnya. Api dan kemampuan berbicara membuat manusia berada di pentas dunia.
Manusia sudah rasis sejak pertama, ketika jumlahnya sedikit spesies manusia demikian akur. Mereka hanya menjadi rasis terhadap makhluk tegak lainnya. Panah api ditembakkan kepada Homo Rudoflensis di Afrika Timur, Erectus di Asia Timur dan Naenderthal di Eropa dan Asia Barat. Ketiganya punah (meminjam Yuval NH dalam Sapiens).
Manusia makin rajin membakar hutan jelang memasuki revolusi pertanian. Jika saat ini perkebunan dibuka dengan cara yang sama hingga kabut asap menjadi bencana nasional, kita dengan mudah menebak: DNA primitif para pembakar tidak mudah terputus dalam ribuan generasi.
Kisah kelam tentang api dalam episode selanjutnya adalah pembakaran kota, seperti pasukan Mongol membakar Baghdad dan buku-buku. "Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia," kata Heinrich Heine. Hal yang menjadi bencana literasi sangat memilukan dalam sejarah, ketika buku-buku berharga menjadi lautan karbon hitam yang diinjak-injak pasukan dungu. Tentang -misalnya- 40.000 buku telah dihanguskan di Aleksandria, adalah bagian terpedih dalam sejarah panjang pembakaran buku yang dimulai di Sumeria Kuno, sekitar 4.000 tahun Sebelum Masehi.
Manusia penguasa api telah diperkenalkan kepada mitos dan agama. Jiwa-jiwa primitif dan kosong dibersihkan ke dalam gereja Gotik, masjid Islam, ashram Hindu, perkamen Taurat, roda doa Tibet atau dinding-dinding ratapan Yahudi. Bahkan manusia menyembah api itu sendiri, atau bola api besar bernama matahari di samping batu-batu paganisme. Batu-batu yang sebenarnya jika diadu, menghasilkan api juga.
Sejak itu manusia diperkenalkan kepada Iblis atau makhluk kegelapan dengan istilah apapun. Mereka terbuat dari api untuk menjerumuskan manusia ke dalam api di hari pembalasan. Manusia adalah makhluk penguasa api di dunia nyata, tapi jiwanya dipanggang oleh api abstrak yang disulut para legiun setan. Maka api-api yang dikuasai manusia akan semakin menghanguskan, dan api-api yang berkobar dalam jiwanya akan terus membinasakan.
Api-api merambat, memasuki gudang mesiu, mengendap di plutonium menjadi nuklir. Senjata-senjata api membuat suku-suku di Afrika saling bunuh dalam tragedi Berlian Berdarah dan seterusnya.
Pertempuran intelektual antara Adam Smith dan Karl Marx misalnya, adalah pergelutan pikiran antara dua filsuf demi kesejahteraan umat manusia, sampai kemudian manusia menerjemahkannya dengan cara api. Maka kapitalisme dan komunisme di belakang hari membuat jejak sejarah yang sama jahatnya.