Malam penghujung Januari 2018, sebagian orang di bumi menyaksikan trifecta surgawi, gabungan tiga kejadian langka: bulan super, bulan biru dan bulan merah darah. Pernah terlihat pada 31 Januari 1866 di benua Amerika, Eropa, serta sebagian kecil Asia, dan Afrika. Itu baru tentang bulan, benda langit terdekat yang hanya berjarak 1,3 detik cahaya dari bumi. Bagaimana dengan sesuatu yang melebihi itu?
Dada ini akan bergetar bila tengah membayangkan bahwa kita adalah bagian dari alam raya yang mahaluas, yang hanya bisa diukur dengan kecepatan cahaya, 300.000 Km per detiknya. Betapa luasnya Bima Sakti, galaksi kita yang jarak dari ujung ke ujungnya ditempuh selama 100.000 tahun cahaya.
Hasil sensus atau pencacahan terbaru dengan teleskop Hubble dari alam semesta yang dipublikasikan mengungkap jumlah galaksi meningkat sepuluh kali lipat dari cacah galaksi sebelumnya yakni 200 miliar galaksi, sekarang dua triliun. Setiap galaksi dihuni miliaran bintan. Setiap satu bintang memiliki susunan tata suryanya sendiri, dan setiap planet dalam tata surya itu memiliki bulan – bulannya sendiri, satu dua atau lima. Kita berada di tata surya bintang matahari yang berjarak hanya 8,3 menit cahaya.
Perlu memahami posisi dan ukuran kita di antara benda-benda langit, untuk melihat betapa maha luasnya ruang langit dan betapa kecilnya kita. Maka pemahaman benda-benda langit tidak hanya domain ahli astronomi maupun astrologi tapi juga menjadi bahan kontemplasi para ahli filsafat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang eksistensi manusia, hubungannya dengan semesta raya dan Tuhan.
Tidak banyak orang yang memikirkan hal-hal yang seluas itu. Cenderung hampir semuanya terseret pada sensasi sesaat, tiba-tiba berada dalam kerumunan orang-orang yang menyanjung bulan gerhana super biru merah darah, yang hanya akan ada 150 tahun lagi. Beruntungnya kita karena wajah bulan dapat sampai ke lensa mata tidak lebih dalam 1,3 detik, bayangkan ada sebuah bintang yang butuh 2.000 tahun untuk bisa terlihat dari bumi.
Apa yang sudah terjadi dalam masa setua itu, apakah bintangnya masih di sana? Kita masih berbicara tentang langit di atas sana, sedangkan kita adalah langit itu sendiri, dengan posisi yang jungkir balik saban hari karena ada rotasi bumi, yang berevolusi mengelilingi matahari dan bersama-sama melesat dalam kecepatan super menjauhi pusat semesta raya.
Jostein Gaarder, seorang Norwegia penulis novel filsafat Shopie’s World mendeskripsikan fenomena alam raya dengan kedahsyatan jarak di antaranya. Dia menyebut, bila ada seseorang di bintang yang berjarak empat tahun cahaya dan sedang mengarahkan sebuah teleskop kuat ke Bjerkely, dia akan menyaksikan Bjerkely sebagaimana tampak pada empat tahun yang lalu. Dan bila ada seorang lagi yang sedang duduk di nebula Andromeda dan sedang mengarahkan teleskop ajaibnya ke bumi, maka yang terlihat adalah pemandangan bumi dua juta tahun lalu tentang pergerakan orang Neanderthal berwajah rata.
Kita dapat berfantasi lebih jauh dengan cara ini, misalnya sebuah bintang yang berjarak 3.500 tahun dari bumi, lalu seseorang dengan teleskop supernya sedang mengarah ke jazirah Arab, kemungkinan ia akan melihat Musa membelah Laut Merah lalu Firaun tenggelam setelahnya. Atau di lain bintang yang berjarak 2.500 tahun sedang menyorot Athena, kemungkinan terlihat pemuda tampan Plato bersimpuh di kaki seorang tua pengoceh bernama Sokrates di pinggir Orakel Delfi atau atau di bagian bumi sebelah timur laut India, Sidharta Gautama sedang memimpin murid–muridnya di bawah sebatang pohon raksasa.
Lebih menggetarkan lagi bila kita mengenang bahwa kita hidup di atas sebutir debu alam raya bernama bumi. Darinya lah kita hidup dan memakan apa–apa yang tumbuh di atasnya. Bahwa sebutir debu itu adalah bagian yang pernah menyatu dengan kita dan menyatu pula dengan triliunan galaksi itu. Ahli Astronomi sepakat, kira – kira 15 miliar tahun yang lalu, semua substansi di alam raya ini menyatu. Substansi itu demikian padatnya sehingga membuatnya sangat panas hingga akhirnya meledak. Kita menyebut ledakan itu sebagai Dentuman Desar (Big Bang).
Akibat ledakan dahsyat itu setiap harinya kita terseret sejauh 8,64 miliar Km di jagad semesta raya menjauhi pusat ledakan dengan kecepatan sepertiga laju cahaya. Fenomena ini disebut The Exppanding Universe atau Alam Semesta Raya yang Mengembang.
Kita tidak tahu untuk apa Tuhan menciptakan alam semesta yang sedemikian besar, jika ternyata kehidupan hanya ada di bumi, atau ada bagian lain yang menjadi misteri. Sudahlah debu itu terlalu kecil, kita membagi–bagi lagi umat manusia yang mendiaminya menjadi bagian–bagian lebih kecil, lebih kecil lagi dan lebih rumit lagi, untuk kemudian memperselisihkan di antara bagian–bagian itu.