Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Primata dan Modernisme

Diperbarui: 30 November 2017   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: http://documentx.net

Darwinisme menyebut manusia sebagai organisme terpintar dalam kerajaan hewan, meski ada perdebatan apakah cetaceans seperti lumba-lumba dapat saja mempunyai intelektual sebanding. Manusia adalah satu-satunya hewan yang terbukti berteknologi tinggi. Manusia memiliki perbandingan massa otak terbesar di antara semua hewan besar.

Paham ini tentunya keterlaluan dan melangkahi dogma karena kasta manusia sejatinya diletakkan di tengah - tengah antara hewan dan malaikat. Manusia tidak dibaurkan dengan makhluk melata, merayap, berenang atau terbang. Manusia itu Chalip (kalifah atau pemimpin) yang punya kemampuan untuk mengendalikan bumi sekaligus mengandangkan semua hewan.

Charles Darwin dengan yakin menyebut manusia sebagai hewan primata yang tiba - tiba punya otak dan muncul sebagai pemenang. Dengan mengumandangkan Teori Evolusi ia menyebut fakta tentang kera yang mempunyai DNA sangat mirip dengan manusia, sehingga teori ini secara logis bisa diterima.

Namun Darwin dapat dipatahkan karena ia gagal mengungkap missing link atau hubung-kait yang lepas dari proses evolusi manusia dari kera hingga manusia modern. Missing link ini masih belum dapat ditemukan penyambungnya, sehingga Darwin sulit diterima. Sebagian besar penganut agama Samawi mempunyai teori Sudden Creation yaitu manusia diciptakan langsung oleh Tuhan dan tidak melalui proses evolusi dalam imajinasi Darwin.

Manusia secara umum terus mengembangkan kemampuan otaknya yang mulai terlihat sejak zaman Batu Muda (Neolitikum).  Melewati titian masa kebudayaan Megalith, zaman logam, modern dan - sedang -menuju post modern.

****

Literatur tentang Posmodernisme seuai Nietzsche dan Heidegger mengaitkannya sebagai sebuah tanggapan terhadap paham modernisme yang menekankan rasionalitas, keutuhan, koherensi, logika dan sistematika berpikir. Bagi para pemikir posmodern, pola berpikir yang dipakai dunia adalah pola berpikir khas peradaban Barat yang dipaksakan ke seluruh dunia melalui proses penjajahan. 

Menurut Akademisi Reza Wattimena, sebagai sebuah aliran pemikiran, posmodernisme mengandung dua hal yang saling bertentangan, yakni sikap nihilistik di hadapan dunia, serta sikap revolusioner untuk menantang segala hal yang menindas. 

Di dalam perkembangannya, posmodernisme pun melahirkan banyak cabang pemikiran, mulai dari analisis gender, semiotika sampai dengan filsafat politik. Nuansa revolusioner kemudian menipis, digantikan dengan nuansa nihilistik, yakni penghancuran total semua narasi yang strukturalis dan sempit.

Posmodernisme untuk beberapa masa ke depan akan sulit diterima dan mendapat penentangan. Hal ini terlihat dari gelagat manusia modern yang sulit memisahkan dirinya dengan romantisme masa lalu, patriotisme, feodalisme dan paham rasisme untuk unggul dari bangsa lain. 

Amerika yang disangka - sangka paling terbuka dan modern di atas bumi ini justru banyak memilih Trump yang agresif dan rasis. Fakta ini menjelaskan bahwa tingkat modernitas manusia baru sebatas pada teknologi, bukan kepada pola pikir.  Untuk menjadi modern saja sudah abu - abu apalagi berharap terciptanya masyarakat kosmo yang pos modernis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline