Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Tetap Positif Biarpun Surga Tak Seluas Neraka

Diperbarui: 10 Juli 2018   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: http://yorkshirecoastfamilies.org

Manusia mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa. Tuhan sudah selesai merekayasa cetak biru kehidupan, sedangkan manusia menjadikannya hitam atau putih. Kepada manusia diberikan tongkat ajaib yang akan menuntun seluruh proses. Tongkat ajaib itu adalah prasangka.

Kalau boleh menebak, manusia-manusia menyangka neraka akan jauh lebih besar dari surga. Manusia memeluk keyakinan dari agama-agama yang mulanya sangat terpencil, kemudian meluas, ditolak atau diterima. Agama-agama tidak pernah menjangkau seluruh bumi. Lalu setiap agama mengklaim paling masuk surga. Jika umatnya hanya sepersepuluh dari penduduk bumi, maka sembilan dari sepuluh lainnya adalah penghuni neraka. Dengan demikian bisa saja dengan sangkaan ini, luas neraka akan sembilan kali lipat dari surga.

Tampaknya, Tuhan hanya menciptakan umat manusia seperti catatan statistik: sembilan dari 10 orang akan dibakar. Manusia dicipta semata untuk dibakar kecuali sedikit orang suci dan nabi-nabi. Itu belum termasuk umat seagama yang pendosa, yang tentunya tidak akan bisa tiba di surga dengan bangga tanpa melewati ruang pembakaran penuh siksa.

Dari premis sedemikian rupa, manusia terliputi oleh pengaruh-pengaruh neraka. Sebentang sejarah bumi adalah konstalasi dari tragedi, Tuhan seolah melihat dari ketinggian dengan wajah murka, lebih banyak menghukum dengan sedikit pengampunan. Hingga akhir zaman sekarang, kita telah menonton semua keburukan itu. Keburukan purbawi yang diturunkan secara genetis.

Berita-berita yang disiarkan dari layar gelas sampai viral-viral sosial media, didominasi oleh framing yang disusun dari anasir negatif: perang, genosida, persekongkolan, penyelewenangan, pembunuhan, tangkap tangan, rekayasa, pergaulan bebas, obatan terlarang, konspirasi, kecelakaan, bencana alam, perkosaan, politik kotor dan kampanye hitam.

Kita lebih suka melihat berita buruk ketimbang puja puji. Lebih gemar melihat kengerian daripada suka ria. Lebih hafal wajah koruptor ketimbang wajah penemu. Yang viral itu anak baru tumbuh yang terekam main kuda-kudaan, ketimbang juara Olimpiade Fisika Internasional. Jangan salahkan jurnalisme zaman sosmed yang memihak kabar sensasional ketimbang faktual, karena wajah industri media adalah pantulan cermin buram dari pilihan masyarakat.

Mulai zaman Batu Tua (Paleolithikum) hingga zaman Lembah Silikon, manusia didominasi oleh aura negatif, seolah ingin membuat pembenaran bahwa neraka memang kampung akhir hampir semua orang. Jelata merindukan perang seperti moyangnya. Para tiran berdiri di atas podium dengan wajah malaikat untuk mendiktekan hasrat haus kuasa.

Sebanyak-banyaknya orang percaya bahwa dunia adalah tempatnya masalah. Sehingga keburukan adalah bagian yang sulit dipisahkan. Tapi mari kembali ke paragraf awal: Manusia mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa?

Ada manusia yang bisa melihat sisi baik dari semua fakta dan fenomena. Baginya segalanya adalah baik atau kebaikan yang tertunda. Jika sesuatu itu memang buruk, pastilah itu hikmah tersembunyi. Tuhan diimajinasikan sebagai zat penuh kelembutan dan pengampunan. Prasangkanya terhadap Tuhan dan umat manusia adalah prasangka kebaikan. Ia memancarkan aura positif kemanapun perginya.

Literatur psikologi menyebut, Aura merupakan sebuah energi daya tarik yang berada di dalam diri manusia, sehingga ia bagaikan medan elektromagnetik yang mengelilingi tubuh manusia (Human Energy Field - HEF) untuk menarik setiap energi yang ada di sekitarnya.

Studi dari The Law of Attraction telah menyebabkan ribuan orang mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. The Law of attraction atau Hukum Tarik Menarik mengupas banyak hal tentang keterikatan manusia dengan semesta yang saling terkoneksi. Pikiran-pikiran atau prasangka yang baik akan menarik lebih banyak kebaikan pada diri seseorang, demikian pula sebaliknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline