Kemajuan dunia Barat tidak semata dipicu dari ruang pustaka dan bengkel-bengkel penelitian, tapi lebih dari itu, mereka mengambil alih kembali kultur kuno yang lama terkubur yakni filsafat Yunani yang bersumbu pada retorika.
Abad ini retorika dicemooh bagai bualan kosong bermuatan propaganda, bagus memikat bunyinya, tapi dibimbangkan tujuan akhirnya. Jika retorika benar - benar ditunaikan, sudah lama bangsa ini maju.
Retorika memuat kedalaman makna, sebagai pemekaran bakat - bakat tertinggi manusia, sebagai rasio dan citarasa yang mampu mengukur keluasan medan pikiran. Karenanya Plato betah bersimpuh 20 tahun di kaki Socrates guna mencerap sebanyak-banyaknya ilmu retorika.
Retorika dipercaya sebagai ajaran poros demi mengantarkan manusia menjadi tuan dan puan. Membebaskan manusia dari posisi budak dan mengambil alih singgasana tuannya. Dengan senjata para tuan dapat merampas tanah dan negara, tapi dengan retorika, siapa saja dapat menaklukkan hati dan jiwa.
Dahulu kala, Yunani dan Mesir, dua negara super kuno, super ndeso itu menjadikan retorika sebagai mata pelajaran wajib yang bersandingan kuat dengan seni mengangkat senjata. Romawi dan Persia serta lain - lainnya hanya menjadi pengekor sediakala, karena Aristoteles sudah memberikan dasar teoritis yang kukuh.
Retorika menjadi sangat mahal harganya. Socrates misalnya - seperti tertulis dalam buku Retorika Modern - hanya mampu membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus, karena itu ia hanya mendapatkan dasar - dasar bahasa yang sangat rendah belaka. Socrates kemudian mengutuk kaum Shopis - Prodicus salah satunya - sebagai prostitut. Shopis adalah kumpulan intelektual ndeso di Athena, yang jangan diharapkan akan menularkan ilmunya jika tidak ada yang bersedia membayar mahal.
Dahulu kala ada dua ahli retoris ndeso yang dijadikan Plato sebagai bahan percontohan. Dia adalah Gorgias yang mewakili kaum Shopis, retorikanya palsu dan berorientasi pragmatif, satunya lagi adalah Socrates yang menyiarkan retorika suci berdasarkan kajian filsafat.
Plato mengingkari Sophisme sebagai ajaran yang berdasarkan kebenaran relatif dan parsial, sedangkan filsafat Socrates membawa kepada pengetahuan sejati. Pada sisi penampakan, Socrates adalah filsuf paling ndeso pada zamannya, kumuh dan brewokan, tapi sesuatu yang dipancarkan dari hatinya lewat kebagusan retorika, membuat ia abadi.
Begitulah retorika mendapat tempat tertinggi di zaman teramat ndeso. Abad keempat Sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di helat Olimpiade, orang -orang berhamburan dari tempat -tempat jauh menuju Athena demi menikmati keindahan kata -kata. Dua bintang ndeso pada zaman itu yang paling diingat kini adalah Demosthenes dan Isocrates.
Tidak ada yang dikagumkan pada zaman itu selain ahli - ahli retorika. Sampai akhirnya Eropa memasuki abad kegelapan. Ketika mereka dalam kepercayaan penuh bahwa bumi itu datar dan memburu Galilieo yang 'kurang ajar' karena mengunduh dan menyiarkan teori heliosentris Copernicus (bumi itu bulat dan matahari sebagai pusat tata surya).