Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Kultus Kartini dan Rahasia di Balik itu

Diperbarui: 21 April 2017   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: amazon.com

Sudahlah.! Wanita dan pria itu berdamai saja. Kenapa wanita ingin terus menerus menjadi musuh dalam selimut. Alam bawah sadar wanita tampaknya masih diliputi purbasangka kepada kaum pria, sebagai makhluk bagak penindas. Siapa yang bilang begitu, jangan – jangan bisa sebaliknya. Meriahnya Hari Kartini, wow.!

Peringatan Hari Kartini terlihat seperti kenduri kaum Hawa yang pernah terjajah berabad lamanya, lalu merayakan kebebasan mereka. Kaum Adam yang dituding sebagai penjajah, ikut pula bertepuk tangan, ada – ada saja.

Kebebasan seperti apa? Dulu Kartini dipingit, lalu mengirim rangkaian surat kepada sahabat - sahabat pena Holanda. Kartini terkagum – kagum kepada wanita Barat yang bisa sekolah tinggi ketika ia harus dikunci di rumah. Elegi feminis Kartini dalam surat – surat itu kemudian menjadi simbol ketertindasan.

Apa yang salah dengan kata pingit. Itu adalah sebentuk kearifan lokal untuk menjaga harkat wanita, daripada mereka melenggang di jalanan lalu membuat aib keluarga, bisa – bisa diperkosa Belanda. Dipingit dengan kesempatan untuk sekolah adalah dua hal yang sebenarnya bisa dipisahkan. Sezaman itu, jangankan wanita, pria bisa tulis baca saja sudah sangat mahal harga dirinya. Kartini masih beruntung karena ia berdarah biru sehingga dapat mengenal bangku sekolah. Sampai usia 12 tahun, ia diperbolehkan menuntut ilmu di Europese Lagere School (ELS).

Apa boleh buat Kartini menjadi Pahlawan Nasional yang tanggal lahirnya diperingati dengan kebaya dan aneka lomba. Kartini menjadi mitos, menjadi kultus, menjadi simbol, menjadi wacana usang kesetaraan gender. Padahal di belakang Kartini ada barisan nama harum yang lebih layak menjadi “Kartini” sebenarnya. Mereka lebih berkeringat, lebih berdarah – darah, lebih besar pengaruh bekas tangannya.

Dibanding Malahayati, Panglima Perang Kerajaan Aceh yang pernah hidup hampir tiga abad sebelum dirinya, Kartini hanyalah wanita sendu dari kelas priyayi yang terlalu akrab dengan Belanda. Dibanding Rohana Kudus, wanita Minangkabau, wartawati sekaligus pejuang pendidikan untuk kaumnya, Kartini terlihat sangat hijau dan hanya pandai beretorika di manara gading. Bahkan dibanding bangsawan Melayu, Engku Puteri Hamidah, dengan ketegasan dan keteguhan sikapnya, Kartini hanyalah wanita ambigu yang menolak dipingit, menjadi objek poligami yang pasrah dan kebarat – baratan. Atau siapa yang tak mengagumi Aisyah Amini - Singa Betina dari Senayan - pada masa Orde Baru, Kartini akan terlihat biasa.

Adalah J.H. Abendanon Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belandamengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Namun surat – surat tersebut dicurigai sebagai hasil rekayasa atau dramatisasi karena bersamaan dengan dilancarkannya Politik Etis (balas budi) Belanda. Keluh kesah Kartini dijadikan alat untuk menohok sekat – sekat adat yang menghambat realisasi sekolah – sekolah di tanah jajahan. Keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis Belanda, kemudian mendirikan Sekolah Kartini di berbagai kota di Pulau Jawa.

Kisah – kisah surat Kartini kemudian diadaptasi oleh Armijn Pane, Sastrawan Pujangga Baru dengan menulis bukuHabis Gelap Terbitlah Terang (1938), lalu diperkuat dengan syair – syair hiperbola Wage Rudolp Supratman dengan Ibu Kita Kartini kemudian disusul sebuah kompilasi berjudul Panggil Aku Kartini Saja oleh Pramoedya Ananta Toer.

Hingga kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun menjadi hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Daripada memusingkan kenapa Kartini bisa menjadi simbol emansipasi wanita, saya pribadi justru tertarik mengamati pemandangan aneh tentang repro negatif potret Raden Ajeng Kartini tertulis tahun pembuatan 1890, artinya ketika foto itu dibuat Kartini masih berumur sebelas tahun. Dengan sanggul dan kebaya, Kartini terlihat sangat ibu – ibu untuk ukuran belia sebelas tahun.

Meminjam Plato, dunia manusia hanya sedalam pikirannya sendiri. Kita sering berada dalam akuarium pikiran sendiri, hal – hal di luar itu akan tertolak. Ketika sebuah pola pikir terbentuk, maka hal – hal yang tidak identik dianggap sesat. Aktivis feminisme membonceng semangat Kartini untuk membuat konstruksi berpikir bahwa wanita berada dalam ancaman. Seolah – olah wanita selama initerus berada dalam subordinat dan hegemoni kaum pria, lewat doktrin patriarki, kungkungan adat dan seterusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline