Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Keajaiban Buku dari Sisi Malaikat dan Iblis

Diperbarui: 25 Januari 2017   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.mldspot.com

Awan gelap pekat menyeliputi langit Eropa. London dan Paris adalah tapak bagi dusun - dusun lusuh, jejeran bagi gubuk – gubuk rapuh, beratap jerami yang becek dan berlumpur bila penghujan tiba. Bule – bule berkulit pucat mendekap di ruang – ruang sesak, seatap dengan binatang ternak: ayam, kambing dan babi. Seketika kegelapan itu sirna, mereka berhasil lulus dari kutukan berabad – abad, setelah mantra penawar ditemukan dari kitab – kitab klasik.

Mereka, umat berkulit pucat dari belahan bumi yang miskin sinar matahari dan miskin dalam banyak hal. Tiba – tiba tangan – tangan mereka mengenggam dunia. Eropa bangkit dan berdiri di barisan terdepan peradaban manusia. Bukan lukisan Mona Lisa dari Leonardo da Vinci yang membuat Eropa menyingsing dari kubangan, bukan pula Patung David yang dipahat Michelangelo.

Kunci besar renaisans itu adalah perburuan pemikiran canggih zaman klasik secara massif di seluruh perpustakaan Eropa oleh pemikir pratama mereka yakni Petrach, Brraciolini, Salutati, Niccoli dan Medici. Renaisans menjadi gerakan massal penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan manusia Eropa yang tadinya sangat bodoh dan miskin menjadi paham filosofi, bagaimana alam bekerja, merakit senjata api dan membangun kapal – kapal yang mengarungi samudra. Padahal sebelum pencerahan tiba, para ilmuan dikejar tunggang langgang dengan tuduhan menyiarkan ajaran sesat.

Kebangkitan Eropa bermula dari Italia, kota Florence. Kontak mereka dengan peradaban Islam di Andalusia dan Byzantium menghasilkan ikatan dagang yang membuat Florence sangat makmur. Penguasanya ketika itu, keluarga klan Medici melakukan dobrakan untuk kota dan warganya yang kemudian memicu kebangkitan seluruh Eropa. Mereka memasuki musim ilmu – dan tidak ada lagi musim lain setelah itu - untuk menyerap seluruh kecerdasan dari apalagi kalau bukan buku dan perpustakaan.

Buku bagi orang Eropa di masa itu, seperti barang azimat yang jatuh dari angkasa seolah sebelum itu tidak ada benda apapun yang memiliki tingkat kesaktian tertinggi selain buku. Mereka berikrar untuk tidak akan berpisah dengannya. Padahal Eropa terlambat 700 tahun dari peradaban Islam dalam soal kecerdasan yang direguk dari buku – buku. Intelektual Muslim Averroes dan Avicenna juga faktor penentu. Merekalah yang menepuk bahu Eropa seolah mengatakan, “hei, kalian punya Socrates, Plato dan Aristoteles berabad silam, maka bangkitlah.!”.

Demikian pula perpustakaan. Bagi mereka itu adalah ruang ajaib, wahana untuk memasung semua kenaifan, mengelupas tudung kebodohan yang menyeliput otak – otak mereka selama ini. Mereka kemudian menjadikan perpustakaan sebagai tempat piknik yang dibangun sedemikian gagah berani. Pustaka bagi mereka adalah elemen yang sangat esensial dalam pembentukan intelegensi peradaban.

Padahal 2000 tahun sebelum abad 18 (renaissance), Ptolemy I Soter telah mendirikan perpustakaan Alexandria yang memiliki tujuan raksasa, yaitu mengumpulkan semua tulisan dan ide yang pernah ditulis bani Adam. Perpustakaan megah itu berdiri di antara kumpulan gedung, termasuk untuk tempat diskusi dan kuliah umum, ruang belajar, ruang makan, taman yang indah dan sebuah tempat pengamatan astronomi. Tapi siapa kemudian yang menjadi pemuncak? Jawabnya Eropa, karena mereka membutuhkan buku lebih dari tungku perapian di musim salju.

Ketika buku menjadi teman tidur, petani kentang dan peternak babi Eropa pun bermimpi menjadi pengarung dunia. Didukung oleh revolusi industri, kapal dan senjata, ilmu pengetahuan yang sedianya untuk meninggikan peradaban dan akal budi, dibelokkan kepada hal – hal yang merusak.

Ini lagi – lagi gegara Indonesia. Tak tahu mengapa kepulauan zamrut Khatulistiwa ini tanpa sengaja menjadi titik tolak perubahan radikal pada dunia. Dalam tulisan sebelumnya Ketika Kopi Meracuni Otak Voltaire kita bicara tentang kopi Indonesia, sekarang soal rempah – rempah pula. Orang Eropa ini, lidahnya pantang diajar. Setelah mereka tahu rasa enak makan itu berasal dari rempah – rempah Nusantara dan khasiatnya bagi kesehatan, mereka ingin menemukan sumbernya, alkisah membeli dari pedagang di Andalusia, alangkah mahalnya.

Ekspedisi bangsa Eropa pun dimulai untuk mencari Kepulauan Rempah – rempah itu (baca: Nusantara). Penjelajahan pertama oleh Portugis di bawah Bartholomeus Diaz hanya mencapai setengah jalan. Spanyol yang berharap menemukan jalan pintas, mau tidak mau harus membiayai Chistoper Columbus yang punya ide untuk pergi ke Timur dengan cara aneh, berlayar ke arah Barat. Columbus percaya mutlak kepada Ptolemeus, Copernicus dan Galileo yang mengajarkan kepada Eropa bahwa bumi itu bulat.

Bukannya sampai lebih cepat apalagi menemukan rempah - rempah, ia justru mendapatkan bongkahan besar penghalang, dihuni bangsa pribumi yang mengikat kepala dengan bulu merak. Columbus menamakan daratan penghalang besar itu sebagai Amerika dengan mengambil nama temannya Amerigo Vespucci. Ia juga menyebut kaum pribumi itu Indian karena menganggap Amerika sebagai India (Timur).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline