Resolusi tahun baru selalu dibuat dengan cara yang hebat karena tidak satu pun ingin menemukan dirinya dalam keadaan kacau setelah tahun berganti. Orang-orang ingin hidup sentosa penuh kebaikan, dan momen tahun baru selalu dijadikan batu pijakan untuk memulainya.
Berbagai suku bangsa dan agama memiliki tahun baru mereka sendiri-sendiri, namun Kalender Gregorius yang kini sudah terhitung tahun 2017 adalah yang paling berlaku secara antara bangsa. Dr Aloysius Lilius dari Napoli, Italia perumus metode kalender Masehi yang kita gunakan sekarang agaknya patut dicatat sebagai salah satu manusia paling berpengaruh di dunia. Atas restu Paus Gregorius XIII, pada tanggal 24 Februari 1582, sejak metode ini digunakan, maka tepat pukul nol nol tanggal 1 Januari setiap tahunnya, separuh penghuni planet bumi tenggelam dalam histeria.
Tidak ada yang berbeda ketika tahun berganti, kecuali menyaksikan bumi semakin tua dan penuh sesak. Planet ini sudah berumur 4,54 miliar tahun dan entah berapa lama lagi ia mampu bertahan. Sehingga dari fakta ini, ekstravaganza paling spektakuler pada momen pergantian tahun tidak menemukan landasan logika, kecuali terlihat semacam memodifikasi ritual zaman Dewa Janus.
Sisi positifnya adalah, kenduri akbar tahun baru selalu berkelindan dengan resolusi untuk perbaikan diri sementara sebagian memanjatkan doa terbaik seperti seseorang yang percaya mitos bintang jatuh dan baru saja melihatnya. Meski dalam prediksi ekonometrik maupun sosiografis, tahun 2017 disebut sebagai tahun penuh kegelisahan, setiap orang akan selalu berharap menemukan oase di terik gurun.
Jika sisi positif tadi dijadikan batu pijakan, maka sepertinya semua akan baik-baik saja. Bila kita tidak mampu mengubah dunia dan mendiktekan kebaikan, mungkin sebaiknya kita fokus untuk memperbaiki diri sendiri. Betapa indahnya dunia ini ketika semua orang sibuk memperbaiki diri masing-masing.
Betapa banyak orang yang memasang muka ketat saban waktu seolah langit runtuh sebentar lagi, hanya karena mempertahankan atau memprotes sesuatu yang cenderung superfisial alias sepele. Betapa banyak energi terbuang untuk saling memaki di media sosial dalam rangka membahas sepotong hoax.
Kabar hoax hanyalah hembusan napas para penganut sekte sesat untuk mengambil alih panggung sejarah lalu dipercaya dan disebarkan lebih luas oleh orang pandir. Untuk selanjutnya keadaan menjadi kacau-balau karena fiksi dan fakta saling bertabrakan. Apakah hal seperti itu yang terus kita biarkan berkeliaran untuk menyita perhatian dan menguras energi positif kita.
Laman media sosial yang menjadi jendela dunia di era milenial sekarang ini sudah menjadi tong sampah raksasa, tempat orang menimbun kata-kata kotor, informasi palsu, menghina dan menghasut. Bagaimana efeknya kalimat-kalimat negatif itu terhadap kita?
Pengaruh kata-kata telah dijelaskan secara ilmiah oleh Masaru Imoto dalam bukunya The True Power Of Water. Dijelaskan, molekul air akan menyusun dirinya menjadi kristal yang cantik jika kepadanya diucapkan kata-kata positif dan sebaliknya akan hancur dan tak beraturan jika dilontarkan kata-kata buruk.
Oase selalu berkaitan dengan air, maka mari kita temukan oase itu ke dalam diri masing-masing. Hampir 70 persen unsur tubuh kita terdiri dari air. Seperti kata Motivator Tung Desem Waringin, ketika cairan dalam tubuh membentuk kristal indah setelah disuntikkan oleh kata-kata positif, maka energi listrik mengalir dengan baik, dan segala sesuatu akan menjadi bagus, sehingga mendadak kita jauh lebih sehat, lebih dahsyat, lebih makmur, dan lebih segalanya.