Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Tanpa Filsafat, Sejarah Menjadi Zombie

Diperbarui: 12 Oktober 2016   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Festival Sungai Carang: cdnimage.terbitsport.com


Kaum historian tidak bertugas untuk menghidupkan bangkai sejarah seumpama Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. Para ahli sejarah bukanlah Pendeta Voodoo pembangkit mayat hidup yang tampak menakutkan sekaligus menggelikan karena berjalan gontai dengan wajah yang sobek di sana – sini. Jika demikian adanya, biarkan sejarah itu mati terkubur dalam pusara zaman, karena ia tak kan pernah pantas untuk tampil di panggung peradaban yang kini. Titik kritisnya adalah, Zombie tidak memiliki kemauan sendiri sehingga selalu berada di bawah kendali sang Cenayang.

Dalam fiksi The Mummy Return, Pendeta Agung Imhotep berhasil dibangkitkan dari peti Sarkofagus setelah mantra dalam Kitab Orang Mati dibacakan. Imhotep yang mulanya berwujud belulang Mummy yang dililit tali temali kain kapan, berubah menjadi manusia utuh yang punya kendali pada dirinya sendiri dan sangat kuat melebihi ketika ia hidup pada tahun 1290 SM. Jika sejarah yang hendak dibangkitkan hari ini selengkap Imhotep, maka marilah kita bersuka ria.

Tapi dengan sedih kita harus mengakui bahwa risalah kuno yang kita baca kini adalah kepingan – kepingan parsial-subyektif yang bersimpuh pada singgasana raja - raja oleh para penyair “pelat merah” dari masa lalu. Dari sini saja sudah ketahuan bahwa sejarah hanyalah mozaik usang yang berat sebelah. Mungkin karena jelata tak layak dikenang.

Maka teks – teks sejarah tidak molek untuk diproklamirkan secara pars pro toto: sebagai sobekan – sobekan kecil untuk mewakili keseluruhan. Tapi apapun itu, manuskrip sejarah yang tersedia kini mesti diimani sebagai satu – satunya cara untuk menembus lorong waktu. Darinya lah kita memperoleh suatu perspektif masa silam.

Sejarah tidak bisa dibiarkan sendirian. Ia harus bersanding rapat dengan filsafat. Ilmu sejarah berbicara tentang kenangan – kenangan tekstual empiris – itupun jika penulisnya mampu menahan emosi untuk tidak mengontaminasi sejarah dengan imaji, mitos dan ego - sedangkan filsafat mendiktekan cara berpikir logis analitis. Kedua ilmu ini akan sangat bersinergi dalam memecahkan masalah - masalah yang bermunculan di zaman kontemporer.

Kita berharap masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan menekankan pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang. Dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi ke masa depan. Harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yakni mengorganisasi masa lalu sebagai fungsi dari masa sekarang.

Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia untuk berpikir kritis pada setiap simpul sejarah untuk kemudian direfleksikan pada masa kini dalam konteks yang relevan. Dengan demikian manusia mampu memetik sebuah pesan up to date dalam rangka membina kehidupan manusia kekinian nan ideal.

Filsafat secara harfiah berasal dari kata philo dan sophos, philo berarti cinta dan sophos berarti ilmu atau hikmah. Jadi filsafat secara terminologis berarti cinta terhadap ilmu, hikmah atau logos. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai titik fokusnya.

Sedangkan sejarah dari konteks Arab bermakna pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan yang lebih analogis karena pertumbuhan peradaban manusia umpama pohon yang dimulai dari biji kecil menjadi rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau message sejarah di dalamnya memerlukan kemampuan menerjemahkan hal – hal tersirat.

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada proses penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti dalam analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup yang esensial.

****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline