Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Mengapa Mafia Berkeley Terus Didiamkan?

Diperbarui: 1 Agustus 2016   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Ilustrasi - Sumber: www.ultimate.com

Apa yang terjadi di Indonesia sejak Tugu Monas berdiri adalah riwayat membayar utang – utang lama dan melakukan penumpukan utang baru. Silakan terperanjat jika utang kita sudah 4.000 triliun dan terus merangkak naik tanpa ada yang sanggup menghentikan. Negara ini dibangun dengan cara yang mengerikan: kekayaan alam dihisap habis, tapi kita membentangkan jalan dan jembatan dengan utang. Utang lama dibayar dengan utang baru atau menjual harta benda negara. Harta benda yang juga didapat dari utang.

David Ransom, seorang penulis muda Amerika Serikat tidak sedang mengigau ketika menyebut di Indonesia sudah tertanam sebuah organisasi rahasia bernama Mafia Berkeley. Mereka nyata meski tidak berkelindan dengan La Cosa Nostra dari Sisilia yang bersenjata api. Para mafioso Berkeley itu adalah pria – pria berdasi lulusan University of California, Berkeley yang setia mendampingi Soeharto muda untuk menyembuhkan penyakit ekonomi warisan Soekarno.

Ransom melalui majalah Ramparts (Edisi IV tahun 1970) menuduh mereka terhubung ke CIA dengan cara pikir yang paralel dengan target AS untuk menjadikan Indonesia sebagai boneka.

Inflasi empat digit yang membubung dan tumpukan utang Soekarno untuk membangun tugu serta menutup defisit segera dibereskan. Soeharto muda begitu terkesima dengan para mafioso (baca: pria terhormat) sehingga kepada mereka dibentangkan karpet merah menuju istana, menjadi menteri di Kabinet Sang Jenderal Besar.

Sebagian besar dari menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah doktor atau master lulusan Berkeley pada tahun 1960 - an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari AS segera menurunkan ilmunya di Universitas Indonesia (UI). Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini.

Generasi penerus dari Mafia Berkeley yang masuk ke dalam kabinet rezim reformasi di antaranya Boediono, Sri Mulyani, Miranda Gultom, Purnomo Yusgiantoro, Marie Pangestu, Rini Suwandi. Mereka tidak mesti lulusan Berkeley, bisa juga berasal dari lulusan Fakultas Ekonomi UI, saat dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri serta Menteri Keuangan.

Di masa Orde Baru kelompok ini menghadapi perlawanan dari para Jenderal seperti Ali Murtopo, Ibnu Sutowo dan Ali Sadikin yang mengharapkan pendekatan ekonomi lebih nasionalistik. Sementara di masa reformasi sejumlah ekonom anti neolib melakukan pengecaman di antaranya Sritua Arief, Ichsanuddin Noorsy, Kwik Kian Gie, Sri Edi Swasono, Rizal Ramli, Sri Bintang Pamungkas.

Para Mafia Berkeley telah menyuntikkan pemahaman dan menyusun sketsa ekonometrik sehingga muncul mitos bahwa Indonesia tidak akan selamat tanpa adanya pendekatan liberal seperti deregulasi, privatisasi dan penghapusan subsidi sebagaimana yang termaktub dalam Konsensus Washington.

Sebagai agen hegemoni global AS, mereka sudah menargetkan diri untuk bercokol di sektor – sektor vital di bidang ekonomi dan sumber daya. Selalu patuh pada perintah IMF dan Bank Dunia serta akan terus menerus memberikan kemudahan kepada arus modal asing untuk menguras Indonesia. Proses kaderisasi Mafia Berkeley dilakukan secara sistematis dengan bantuan asing. Silakan di-googling bagaimana riwayat cara kerja mereka untuk memastikan Indonesia tetap membayar utang – utangnya dengan terus menciptakan utang baru.

Pada ujung rezim Soekarno, ekonomi Indonesia memang kusut masai, tapi sumber daya alam relatif utuh. Bandingkan sekarang, ekonomi terancam, utang makin membubung dan sumber daya alam sudah terkuras habis. Kita hampir tidak punya agenda terstruktur dan simultan untuk menghentikan hegemoni yang mereka ciptakan.

Jangankan sekadar membangun opini publik untuk penyadaran, kita yang labil dan plastis, harus terkecoh kagum dengan “pengorbanan” Sri Mulyani yang meninggalkan gaji miliaran setahun di Bank Dunia demi memenuhi “panggilan nurani” sebagai Menteri Keuangan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline