Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Manusia, Makhluk Ultra Modern Sekaligus Primitif

Diperbarui: 25 Juli 2016   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Post Modernisme - sumber: concervativeimage.org

Globalisasi bukan perkara kemarin sore milik warga post modernitas. Jauh sebelum Theodore Levitt melentingkan istilah ini lewat Globalization of Markets (1983), umat manusia sudah mengglobal di titik nol lini masa Adam dan Hawa. Paul James menyebut, perpindahan manusia adalah bentuk dominan globalisasi paling tua. Adam dan Hawa telah berpindah dari ujung ke ujung dunia, sedangkan perpindahan yang masif dan terorganisasi mulai terekam dalam jejak globalisasi bahtera Nuh.

Bahwa kita yang hidup di abad ini merasa paling modern karena telah berendam sejak lahir dalam kancah globalisasi. Bahkan dengan tergesa-gesa kita dianggap sudah masuk ke era post modernisme, setingkat di atas modern. Dalam perspektif sosiologis, skala post modernitas umat manusia ditunjukkan pada situasi dan tata sosial, produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme hedonis, deregulasi pasar uang dan sarana publik serta semakin usangnya konsep bernegara.

Secara simbol dan fakta, benar kita sudah berada di atas modern, tapi dari konsep berpikir dalam perspektif post modernisme, sebagian besar manusia di bumi justru sangat kampungan. Post modernisme dengan post modernitas bukanlah hal yang sama.

Post modernisme tidak bisa dipaksakan. Ia adalah penantang keras kisi–kisi modernisme yang dianggap gagal, tapi kemudian ia sendiri kebingungan mencari tempat. Teori–teori yang diciptakan pada era modern yang bertebaran bagai gemintang, dalam tatanan ini, telah coba untuk dipahami sebagai indikasi atas kedewasaan berpikir spesies manusia.

Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, post modernisme adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena gagal menyeragamkan teori–teori. Post modernisme- istilah yang pertama sekali muncul pada 1930 dalam bidang seni oleh Federico de Onis- biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas, bahkan sama sekali tidak ada penjelasan.

Post modernisme adalah tatanan yang utopia, mengangkasa demikian tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada malaikat penjaga pintu langit. Perdebatan panjang atas kesombongan teori-teori parsial adalah gejala kegagalan post modernisme, karena setiap teori menyediakan dirinya untuk ditolak oleh teori yang lain meski selalu punya peluang untuk menjadi paling benar. Maka debat – debat paling agung sekalipun oleh para kandidat penunggu Gedung Putih, sebenarnya sangat terbelakang dari kacamata post modernisme.

****

Donald Trump adalah sebentuk makhluk ciptaan Tuhan yang paling menggemaskan akhir–akhir ini. Di mata Islam dan Hispanik Amerika Serikat, ia bahkan dianggap sebagai teror masa depan. Trump si xenophobia narsis sekaligus rasis ini akan dipertemukan dengan wanita penyandang stigma: si pembohong kelas satu dan the most reckless woman, Hillary Clinton. Dua pilihan sulit ini akan membuat payah publik Amerika Serikat (AS) dalam general election 8 November 2016 nanti lantas media sana menyebutnya sebagai ajang pemilihan dua dedemit.

AS nyaris tidak punya pilihan ketiga, kecuali si kuda hitam betina yang sempat muncul dari Green Party. Ia adalah Jill Stein, seorang dokter, aktivis dan politikus. Secara rekam jejak, Stein dianggap lebih bersih, sayangnya ia bernaung di partai alas sepatu yang didukung para minoritas termasuk LGBT. Rakyat AS sebenarnya sedang menuju fase gagal dalam menemukan pemimpin ideal secara demokratis, meski negara ini dianggap sebagai induk semang demokrasi dunia.

Trump adalah sosok anomalis yang tak terdefenisikan. Ia hampir sepangkat dengan suku Yamomani, pribumi hutan Amazon yang mudah bertikai dengan kaum pendatang. Profesor William Liddle, pengamat politik AS–Indonesia bahkan mengaku gagal menemukan sisi baik Trump. Jika kemudian Trump melenggang ke Gedung Putih, kata Liddle, rakyat AS benar-benar sedang dalam masa sulit, sesulit hubungan Indonesia–AS nantinya.

Otak reptil Trump yang mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif ternyata sangat dominan, sehingga ia secara eksplisit menghendaki hanya orang Kulit Putih yang berhak atas Amerika Serikat. Jika kemudian Trump benar-benar terpilih, inilah yang disebut dengan kegagalan post modernisme bahkan dalam level modernisme sekalipun. Trump, manusia yang hidup di abad post modernitas seakan menolak globalisasi. Diperkuat dengan wacananya untuk mendongkel pasar bebas, maka Trump sangat mundur atau malah sangat maju. Inikah gejala Neo Globalisasi? Entah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline