Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Penjara Suara Kakaktua

Diperbarui: 4 Maret 2019   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kakaktua sumber: www.liputan6.com

Jamak dari kita mengambil alih pekerjaan burung Kakaktua untuk meniru suara manusia. Karena menganalisis, mencari tahu dalam sebangun dialektika dengan tangga pertama tesis, antitesis lalu sintesis itu melelahkan. Lebih aman ambil, tiru, modifikasi atau langsung seperti Kakaktua, tiru habis. Kena atau tidak pada substansi itu soal nanti, bukan urusan burung.

Burung Kakaktua tidak perlu pemahaman kosa kata apalagi esensi. Mereka hanya mengandalkan syrinx,sebuah rongga ajaib dengan dinding fleksibel seperti membran drum, berada di antara paru-paru dan pipa angin. Kemudian dengan susah payah potongan – potongan kata yang didiktekan kepada mereka berulang - ulang, dikicaukan kembali hingga mirip suara manusia.

Kakaktua tidak dipeluk seperti kucing Persia. Mereka terjebak dalam sangkar atau dirantai, dan suara – suara itu mewujudkan metafora sedih untuk penjara jiwa raga. Hanya Kakaktua terpenjara yang meniru suara manusia, yang bebas lepas di hutan, menyenandungkan irama alam. Irama mereka sendiri.

****

Paradoks. Semesta reformasi menyediakan ruang yang lega kepada siapa saja untuk bersuara. Sayangnya yang terdengar hanyalah debat publik tidak bermutu, dangkal dan parsial. Suara – suara yang ditiupkan dari corong konspirasi bernafas propaganda disuarakan kembali secara seragam oleh para Kakaktua tanpa proses dialektik.

Demokrasi laksana jubah kebesaran yang dari jauh terlihat memesona, padahal jubah itu sedang membungkus tubuh kerdil lagi keropos yang ditopang oleh tongkat kenaifan.

Kita telah bebas bersuara, sayangnya kita terpenjara seperti Kakaktua. Kita meniru suara – suara orang, dari media sosial, televisi, radio, koran dan kedai kopi. Terlalu sulit bagi kita untuk menemukan apalagi melontarkan suara – suara sendiri yang orisinil. Sebagaimana kita juga terlalu sulit untuk tidak terperanjat kepada hal – hal baru, yang seksi, yang luar biasa, yang sensasional, yang fenomenal.

Orang – orang partai meniru suara pemimpin puncaknya. Jika hari ini kiblat politiknya menghadap ke timur, maka wajah para aktivis dan simpatisan militan partai itu akan berpaling ke timur. Jika lusa ke tenggara, maka tiada ampun, ke tenggaralah mereka. 

Jika ketua partai menggendong satu figur tertentu dalam sebuah kontestasi politik, maka seluruh kader hingga ke tingkat paling kampung akan menguatkan opini – opini untuk membuat pembelaan – pembelaan. Jika kenyataannya kemudian mereka sedang membela rampok, bandit kerah putih atau hanya orang – orangan sawah yang dikendalikan tauke, itu bukan urusan burung Kakaktua.

Seorang pecinta mati atas seorang tokoh atau pemimpin, akan membuat permusuhan kepada pengkritik. Sebaik atau setulus apapun sumbang saran yang ingin disampaikan kepada kubu mereka, akan dituduh sebagai basa basi untuk memulai mencari gara – gara. Demikian pula jika sudah membenci, maka seluruh energi akan dikerahkan untuk meningkatkan derajat kebencian itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline