Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Sebuah Obituari - Gubernur Tua Unstoppable

Diperbarui: 16 Juli 2018   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sketsa Muhammad Sani by Purwanto

Dia berdiri di atas sebuah kota dan menembus rumah dengan matanya. Dia mengatakan bahwa roh-roh yang mengambang di sayap mimpi, dan orang-orang yang menyerah pada tidur. Ketika bulan jatuh di bawah cakrawala dan kota menjadi hitam, kematian berjalan diam-diam di antara rumah-rumah - hati-hati menyentuh apa-apa - sampai ia mencapai istana. (Kahlil Gibran)

Tubuhnya ringkih, kurus dan gemetar. Wajah penting itu terlihat sudah makin menua dan letih. Meski sedang kelelahan oleh usia dan penyakit, ia tak terhentikan. Sesetangah orang akan memilih istirahat di rumah besar, bercengkerama dengan anak cucu, bertamasya sambil menjalani terapi di luar negeri, bukan malah mengurus dua juta orang. Lelaki tua uzur itu turun naik pelantar, disepak gelombang, terbang di atas awan, pontang panting, padat, riuh dan penat, dan perih dan ajal menjemput.

Ayah Sani, pria besi unstoppable. Personifikasi Untung Sabut yang melekat pada dirinya seperti punya kekuatan magis. Sani melesat bagai anak panah, meluncur, menembus hingga ke titik paling diinginkan. Ia seakan menjadi tangan kanan keadilan, sosok pemenuh kebutuhan kepada orang – orang tak berayah, yang merindukan figur ayah dan segala tentang ayah. Sani adalah paternalis dari sisi paling positif.

Sani kecil diikat di sebatang pohon inai oleh Subakir bapaknya, sebagai hukuman jika ia malas sekolah atau mengaji. Sejak itu ia siuman bahwa kehidupan ini keras, bukan untuk berleha – leha. Budak Parit Mangkil ini memaksa dirinya untuk sedaya upaya bisa bertahan di bangku sekolah.

Jika Yang Maha Berkehendak sudah memihak, maka tak satu aralpun dapat melintang. Bila Yang Satu sudah restu, maka segala ikhtiarpun membujur lalu. Lalu anak petani miskin yang nyaris putus sekolah itupun menjadi gubernur, dua kali jadi gubernur, orang nomor satu di ranah Kepulauan Riau. Untung sabut timbul, untung batu tenggelam.

Sani kecil adalah potret kusut anak petani papa yang hidup dalam kesempitan, lalu kemudian menemui jalan benderang. Dia menyadari hanya dengan banyak bekerja, belajar dan membangun hubungan baik dengan sesama, hidup ini segera berangkat dari kubang kemiskinan.

Sejak kecil Sani sudah terbiasa menghadapi kerasnya hidup. Saat anak-anak seusianya lebih banyak bermain dan bermanja, ia malah menghabiskan waktu di ladang karet dan kelapa sawit. Bekerja menoreh getah, mengumpulkan daun pinang kering, menjadi pemungut bola tenis atau mendorong gerobak menjual air keliling kampung. Seluruh bait memoar tentang hidup Sani adalah ayat – ayat khotbah untuk menuntun siapa saja yang ingin mencapai cita dan aktualisasi diri. Dari titik nadir ke puncak asa. Zero to hero.

2012 silam, di sela acara Business Meeting di Jerman, Gubernur Sani sedang tak punya pilihan kecuali menjalani operasi penyempitan saraf tulang punggung yang sudah sepuluh tahun ia derita. Meski kelihatan pulih tapi kondisinya tak kunjung membaik.

Beberapa dokter yang sempat memeriksa kesehatannya mendiagnosa ada penyempitan saraf akibat tulang tumbuh yang menekan saraf tulang belakang, tepatnya di punggung (growing and compressor). Namun Sani sebelum itu hanya melakukan pengobatan akupuntur. Ia memilih mementingkan tugas – tugas kedinasan daripada menyelamatkan hidup sendiri. Sani menghindari operasi yang mengharuskannya berlama – lama di rumah sakit.

Padahal delapan tahun sebelumnya, Sani mengaku sudah diminta dokter untuk operasi, tapi dia menolaknya dikarenakan aktivitasnya yang padat. Namun semakin hari, rasa sakit saat menoleh ke kanan dan ke kiri semakin mendera. Bahkan, sangat terasa saat menuruni anak tangga. Rasa sakit bahkan sampai ke pinggang dan tulang belikat.

Rasa sakit itu kian menjadi sehingga Sani berkonsultasi ke Mounth Elizabeth, Singapura dan Mahkota, Melaka. Selain itu, dia juga mengunjungi Profesor dr Hilman, ahli bedah syaraf yang juga teman SMA-nya. Hasilnya sama, ada penyempitan saraf punggung yang berakibat kurang baik terhadap kesehatan dan aktivitasnya hingga disarankan untuk operasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline