Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Makhluk Mikrokosmos

Diperbarui: 16 Juli 2018   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Paulo Zerbato

Sesuatu yang tanpa kita sadari dan terus menerus kita lakukan sepanjang hayat adalah menengadah ke langit ketika sedang berdoa atau berbicara kepada Tuhan. Sedangkan langit itu abstrak, langit itu jungkir balik karena bumi terus berputar secepat 11,18 kilometer per detik memenuhi kodratnya agar tercipta siang dan malam.

Sekian lama kita telah menyederhanakan konsep tentang Tuhan. Kita  menggunakan gambaran yang amat berani untuk mengungkapkan kerumitan realitas Tuhan, bahwa Yang Esa itu ada di atas, maka kita pun mendongak ke langit. Rongga imajinasi kita telah disesakkan oleh khotbah para mistikus melalui definisi yang seragam tentang dunia spritualitas transendental. Padahal manusia tidak diberi pengetahuan tentang zat Tuhannya kecuali sedikit. Manusia benar – benar makhluk sok tahu yang menyedihkan.

Di dalam kosmos-Nya, manusia hanyalah nokhtah super kecil yang bergerak super lambat. Andai 200 juta manusia yang rata – rata tingginya 195 sentimeter disambung – sambungkan, barulah mereka bisa membuat sebuah tangga untuk mencapai permukaan bulan. Padahal bumi dan bulan adalah jarak terdekat antara benda – benda galaksi.

Jika manusia ingin melancong dari ujung ke ujung galaksi Bima Sakti dengan kecepatan cahaya maka akan dibutuhkan waktu 100 ribu tahun, itu berarti membutuhkan seribu keturunan manusia yang rata – rata berumur seratus tahun, dalam perlawatan generasi yang sambung menyambung.  Ini barulah dalam takaran sebuah galaksi, sedangkan seluruh jagad raya ini dihuni oleh miliaran galaksi.

Apabila hal yang maha penting mengenai Tuhan dalam realitas super kosmos saja disederhanakan sedemikian rupa oleh manusia maka bagaimana dengan hal – hal lainnya.

Kita telah tunggang langgang saban hari di muka bumi ini mengerjakan hal yang remeh temeh dan nyinyir pada hal – hal yang tidak substansial.

Lihatlah betapa menyedihkan bangsa ini pada helat pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Seseorang bisa bolak balik turun ke dalam parit atau menunggang kuda dengan gagah berani, hanya untuk menegaskan bahwa mereka adalah manusia yang paling layak untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.

Kita seolah – olah telah menyelenggarakan demokrasi dengan gemilang, padahal gagal total sejak awal. Demokrasi bukanlah soal angka – angka atau quick count. Demokrasi bukanlah tentang siapa yang memiliki gestur dan rupa mirip jelata. Demokrasi bukanlah tentang parodi dan upaya – upaya menggelikan untuk bisa memenangkan hati rakyat.

Memilih pemimpin adalah sebuah hajat besar demi masa depan bangsa ini, tapi diselenggarakan dengan ukuran – ukuran yang sederhana. Sehingga demokrasi menjadi semacam produk futuristik yang belum layak diaplikasikan di tengah makhluk “primitif” seperti Indonesia, bisa jadi di belahan bumi mana saja.

Pada titik ini, demokrasi hanyalah sebuah mesin pencari yang bisa dikendalikan oleh mufakat jahat atau diserahkan bulat – bulat kepada rakyat atas dalil vox populi vox dei. Itu akan sama berbahayanya, jika kemudian rakyat melakukan simplikasi pilihan – pilihan akibat kemalasan menganalisa.

Di negeri kolam susu ini, anak bangsa mengais sisa – sisa rezeki sedangkan para borjuis dan pemburu rente menari di atas tumpukan intan berlian. Di negeri kolam susu ini, susunya telah ditetesi semacam racun yang sama berbahaya dengan sianida, ia bernama “trickle down effect”. Dengan racun ini negara memelihara dan memanjakan para kapitalis. Seperti menuangkan anggur ke dalam gelas sampai penuh, lalu berharap tetesannya akan sampai ke mulut rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline