Sejak zaman Kerajaan Melayu Riau Lingga, wilayah Pulau Batam telah diprediksi sebagai wilayah masa depan. Paling tidak kecenderungan ke arah itu sudah terlihat pada akhir abad ke 19. Dalam bidang penanaman gambir umpamanya, sejak diperkenalkannya komoditas ini di Kerajaan Riau oleh Daeng Celak, pada tahun 1729 hingga pertengahan abad ke 19, kebun gambir yang kebanyakan pekerjanya orang-orang Tionghoa, sebelumnya hanya berkosentrasi di sekitar Pulau Bintan.
Namun sejak menipisnya cadangan kayu sebagai bahan bakar pengolahan gambir, diupayakan membuka ladang baru sehingga Pulau Batam menjadi alternatif utama. Memasuki akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20, arti Pulau Batam sebagai wilayah ekonomi strategis semakin nyata. Hal ini utamanya dipicu oleh perkembangan Singapura yang digarap Inggris pada 1819.
Sejumlah pengusaha dari bandar itu mulai membuka usaha di Batam. Pada tahun 1909 dilaporkan bahwa seorang pengusaha bernama RAM Larkis membuka usaha dan sekaligus mendapat izin mengumpulkan batu di daerah pesisir utara dan timur Pulau Batam serta Teluk Tering. Setahun sebelumnya Raja Ja’afar, Amir (Camat) Batam di Pulau Buluh yang menggantikan Tengku Umar, juga melaporkan adanya sebuah usaha kayu balak di Pulau Bulang untuk dieskpor ke Singapura yang dikelola oleh orang Prancis.
Pada masa itu Pulau Batam juga dilirik sebagai daerah usaha perkebunan. Pada bulan Juni 1907 misalnya, Sultan Abdulrahman dan Residen Riau WJ Rahder, mengeluarkan empat buah konsesi tanah perkebunan di Pulau Batam. Dalam sejarah Kerajaan Riau Lingga, tanah Batam pernah diserahkan pengelolaannya kepada Raja Ali Kelana. Dalam surat yang ditulis YDMR X Raja Muhammad Yusuf bahwa pada tahun 1898 disebutkan tentang penganugerahan tanah Batam kepada Raja Ali Kelana.
Pada tahun yang sama, Raja Ali Kelana disebutkan telah melakukan persiapan membuka usaha di Batam. Dalam tahun 1901, menurut catatan Aswandi Syahri, The Singapore and Straits Directory for 1901, untuk pertama kalinya nama perusahaan Batam Brick Works dengan nama Raja Alie (Ali Kelana) sebagai pemilik. Perusahaan ini berkantor di 135 Prinsep Street Singapore, sementara pabrik Batam Brick Works, penghasil batu bata yang dianggap sebagai cikal bakal industri di Batam, terletak di wilayah Batu Aji.
Secara historis, usaha Raja Ali Kelana dalam membuka dan mengelola pabrik batu bata di Batu Aji, diamini sebagai sebuah pondasi awal pengembangan industri Pulau Batam yang diwujudkan dengan berdirinya pabrik bernama Batam Brick Works (Pabrik Batu Batam Batam). Produk batu bata tersebut menggunakan label: BATAM.
Dalam satu fase sejarah pasca kemerdekaan, Jenderal Soeharto yang pernah menjadi komandan militer untuk prajurit KKO berbulan-bulan di Pulau Batam pada masa konfrontasi, melihat secara nyata bahwa Batam pada dasarnya memiliki posisi stratejik baik dari sudut politik, sosial budaya, ekonomi dan strategi keamanan nasional. Melalui Kepres Nomor 65 tahun 1970 yang dikeluarkan Oktober 1970, Presiden Soeharto mengambil langkah-langkah dengan menetapkan Batam sebagai basis logistik dan operasional untuk kegiatan eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai (offshore).
Ibnu Sutowo selaku Direktur Utama Pertamina ditunjuk sebagai penanggungjawab. Dalam Keppres tersebut dibunyikan bahwa Pertamina menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap seluruh beban anggaran. Ibnu Sutowo kemudian dikenal sebagai aktor peletak batu pertama pembangunan Pulau Batam. Suka tidak suka, di era pembangunan modern, Ibnu Sutowo adalah sang maestro, otak di belakang initial phase pembangunan Batam. Soeharto menganggap Pertamina sebagai lembaga yang paling siap secara finansial. Selain itu juga dilandasi kondisi ekonomi riil yang terjadi saat itu. Hingga dasawarsa 1960-an, hampir seluruh kegiatan operasi dan logistik minyak lepas pantai dari para kontraktor bagi hasil (production sharing) Pertamina berpangkalan di Singapura.
Dalam hubungan kemitraan ini, berdasarkan sistem pembagian bruto: 85-15, Pertamina tidak hanya menerima 85 persen hasil, tetapi juga harus ikut menanggung 85 persen biaya kontraktor yang bersangkutan. Jika Batam berhasil menjadi pangkalan operasi dan logistik, maka Pertamina akan menghemat biaya dan mendatangkan keuntungan lebih besar. Biaya pangkalan di Batam dikalkulasikan jauh lebih murah dibandingkan jika berpangkalan di Singapura. Selain itu, biaya pangkalan di Batam akan diserap pasar dalam negeri, sehingga dapat menghemat devisa dan menghidupkan perekonomian dalam negeri.
Pulau Sambu dipilih sebagai pangkalan logistis dan operasional Pertamina. Setelah pangkalan Pertamina dibangun, para pekerja Pertamina yang sebelumnya berada di Singapura ditarik ke Pulau Sambu. Sebagian lagi pekerja Pertamina didatangkan dari daerah lain atau dipindahtugaskan ke Pulau Sambu. Sambu sejak era tahun 1940 – an sudah berkembang menjadi bandar yang ramai. Wilayah ini menjadi storage tank oil oleh perusahaan perminyakan Shell sejak tahun 1927 sebelum berganti kepemilikan menjadi Pertamina. Orang – orang kapal yang menyinggahi perairan Indonesia waktu itu mengidentikkan Indonesia dengan Sambu Island.