Lihat ke Halaman Asli

Bisakah Membangun Usaha Tanpa Uang?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Dulu istri saya pernah cerita bagaimana cara salah seorang tetangga kami memperoleh uang. Orang ini membeli rumah-rumah yang rusak atau setengah rusak, yang mungkin saja pemiliknya tidak punya waktu untuk merawat atau menyewakan. Jadi rumah-rumah itu umumnya bisa dibeli jauh di bawah harga pasar. Salah satu rumah dia beli dengan harga kurang dari 100 juta rupiah cash. Kemudian orang ini segera melakukan perbaikan dengan biaya renovasi sekitar 20 hingga 30 juta rupiah. Dalam waktu kurang dari 3 bulan setelah pembelian, rumah itu dijual lagi dengan harga pasar 150 juta rupiah. Hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan, orang ini bisa mendapatkan uang 40-50 juta rupiah, bayangkan jika dia melakukannya untuk 10-20 unit rumah dalam 1 tahun. Tambahan, bisnis itu bukanlah bisnis utama atau pendapatan utama untuk hidup, hanya hobi memanfaatkan waktu luang dan uang yang ada. Anda, dan saya waktu itu, tentu berpikir bisa saja karena punya modal cukup untuk melakukannya. Umumnya kita berpikir bahwa untuk segala sesuatu perlu uang dan modal kerja yang cukup sebelum menjalankan usaha, tapi kenyataannya sebagian besar pengusaha tidak memulainya dengan cara itu. Tetangga kami yang lain melakukan bisnis yang sama tapi dengan cara yang agak berbeda. Ia mengajukan KPR ke bank untuk rumah yang ingin dibeli, kemudian begitu KPR disetujui, dengan cepat rumah itu dijual, setelah tentunya diperbaiki hingga cukup menarik, dengan cara over kredit. Biasanya selisih over kredit yang diperoleh untuk rumah 300-400 juta adalah 30-40 juta. Modalnya hanya DP dengan nilai 50-80 juta rupiah saja. Teman kami yang lain, membeli mobil avanza bekas dengan DP 20-30 juta-an kemudian menyewakannya hingga pendapatan dari sewa tersebut memungkinkannya cicil mobil lainnya yang juga disewakan. Demikian seterusnya hingga asetnya bertambah pesat. Kami juga melakukan hal yang sama untuk pembelian mobil kami, sekaligus juga membeli rumah yang nilainya saat ini sudah lebih dari 100% saat kami membelinya dulu dan mobil kami bisa lunas tanpa perlu kami mengangsurnya sendiri. Ayah saya melakukannya dengan cara yang lebih cerdas. Ia memiliki pekarangan rumah yang cukup luas. Disekitaran rumah beliau sudah banyak dibuat kios dan toko kecil. Beliau ini ingin juga membuat toko/kios kecil untuk disewakan tapi tidak memiliki cukup uang untuk membangunnya sendiri. Alih-alih meminta uang dari anak-anaknya, yang dilakukannya adalah meminta calon penyewa untuk membayar 100% sewa setahun dengan janji dalam tempo kurang dari 3 bulan sudah bisa menempati toko/kios tersebut. Ayah saya tahu, lokasi rumahnya cukup strategis dan menarik sehingga calon penyewa akan setuju dengan permintaan beliau, dan hasilnya tidak keliru, dalam tempo kurang dari 6 bulan sudah berdiri 6 toko/kios dengan harga sewa 6-7 juta per tahun per toko. Dan beliau sama sekali tidak menggunakan uangnya sendiri untuk membangunnya. Produktivitas tidak melulu berkaitan dengan benda nyata (tangible) tapi juga dalam bentuk ide dan gagasan (intangible), karena itulah sebagian orang memasukkan intangible asset seperti hak cipta, lisensi, franchising, dan lain sebagainya kedalam daftar asetnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline