Lihat ke Halaman Asli

Potensi Pemanfaatan Drone untuk Ketahanan Maritim

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1403772430119719552

Disclaimer: Tulisan ini bukan publikasi ilmiah. Skenario disederhanakan dengan proporsional, terminologi sebisa mungkin dihindari - kecuali tidak bisa dihindari :) - untuk menjaga kebersahajaan tulisan.


Akhir-akhir ini sedang gencar dibicarakan tentang drones sebagai perangkat ketahanan maritim. Ide yang kerap disampaikan oleh Joko Widodo ini sebenarnya bukanlah hal baru dan terletak di awang-awang saja. Secara pribadi saya beropini bahwa penggunaan drones atau UAV (unmanned aerial vehicle), dengan syarat dan kondisi tertentu, sangat relevan mengingat luasnya daerah laut Indonesia serta perkiraan kerugian akibat pencurian ikan yang ditaksir mencapai Rp 300 triliun. Kebetulan juga saya sempat sedikit bergelut dengan bidang ini dalam rangka proses seleksi beasiswa studi.


Secuil Latar Belakang

Menurut laman Wikipedia, drones/unmanned aerial vehicle(UAV) adalah sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya sendiri. UAV berbeda dengan rudal karena rudal tidak dapat digunakan kembali dan merupakan sebuah senjata militer tersendiri.

Banyak yang bertanya: bukankah Indonesia telah memiliki vessel monitoring systems(VMS) yang menggunakan satelit sehingga ide penggunaan UAV ini merupakan redundansi dan pemborosan yang tidak perlu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa dimulai dengan menggali sedikit mengenai VMS.  Sejarah perkembangan VMS dimulai di Portugal pada tahun 1988 dengan nama MONICAP sebagai langkah terhadap degradasi hasil tangkapan ikan baik dari sisi kuantitas maupun ukuran individu, serta untuk riset terhadap biomass dari suatu spesies. Peningkatan efisiensi dalam monitoring, control and surveillance (MCS) dengan pelacakan jarak jauh MONICAP kemudian menjadi awal kelahiran riset VMS.

VMS seringkali diasumsikan bersinonim dengan satellite surveillance. Asumsi ini tidaklah akurat. VMS adalah cooperative system di mana hanya kapal yang ikut terdaftar dan berpartisipasi yang dapat dimonitor. Sistem kooperatif membutuhkan setiap kapal yang berpartisipasi harus dilengkapi dengan transmitter dan transceiver. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ide untuk mengurangi pencurian ikan dari kapal illegal yang pasti tidak cukup bodoh untuk memasang perangkat sistem kooperatif.

Jadi UAV Bisa Apa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ijinkanlah saya untuk memaparkan sebuah proyek dari daratan Eropa yang bernama RECONSURVE. RECONSURVE adalah sebuah reconfigurable maritime surveillance system dengan multimodal smart sensor yang dipasangkan pada berbagai platform sehingga membentuk suatu jaringan koheren melalui kerjasama antarmuka. Proyek ini awalnya merupakan penelitian bidang pervasive system oleh Centre for Telematics and Information Technology (CTIT) University of Twente. Prof Paul Havinga dari Faculty of Electrical Engineering, Mathematics and Computer Science sebagai project manager. Proyek ini kemudian diambil alih oleh konsorsium perusahaan-perusahaan dari Perancis, Turki dan Korea Selatan.

Bidang pervasive systems adalah bidang yang mengedepankan kerjasama antar computer yang dapat berwujud macam-macam. Sehingga alih-alih berproses seperti di bawah ini

dengan kerjasama antarmuka berbagai wujud “komputer” maka kita dapat menyusun kepingan “puzzle” menjadi gambar yang lebih deskriptif seperti ilustrasi berikut

14037725441755475778


Kemudian Mana Bagian UAV?

Baiklah, mari kita amati ilustrasi skenario di bawah ini

14037726361706076356

Di sini peran UAV sangat penting dengan tugas untuk mengambil foto dari kapal yang dicurigai. Kelebihan dari penggunaan UAV dibandingkan dengan shore-based stationary systems adalah hasil citra yang lebih jelas dan akurat. Selanjutnya hasil citra yang di-“downlink” akan digunakan untuk proses klasifikasi kapal menggunakan algoritma tertentu. Hasil klasifikasi akan dijadikan bahan rujukan untuk pelaporan pada pihak berwenang yang terdekat dan paling tepat.

14037727811313028359

1403772800523748422

UAV dalam proyek ini dalam ranah sipil, sehingga tentu tidak bisa dibandingkan dengan maritime patrol aircraft (MPA) militer seperti Poseidon maupun Orion. Karena ide awal penggunaan UAV bukanlah untuk melawan kapal selam maupun kapal perang militer, tetapi untuk mengurangi penangkapan ikan ilegal. Selain itu tidak menutup kemungkinan UAV digunakan dalam deteksi kapal imigran gelap, penyelundupan BBM atau membantu SAR.

Konklusi?

UAV tidak dapat berdiri sendiri, dibutuhkan infrastruktur dan alat pendukung untuk melakukan tugas ketahanan maritim. Oleh karena itu saya beropini bahwa penggunaan UAV sangat relevan tetapi tentu saja dengan syarat dan kondisi tertentu yaitu pengembangan infrastruktur pervasive systems yang komprehensif.

Referensi:


  1. Cetin, F.T., Yilmaz, B., Kabak, Y., Lee, J. H., Erbas, C., Akagunduz, E., Lee, S. J.  (2013). Increasing Maritime Situational Awareness with Interoperating Distributed Information Sources. 18th International Command and Control Research and Technology Symposium, Virginia, USA.
  2. Navigs s.a.r.l. (2005). Fishing Vessel Monitoring Systems: Past, Present and Future. The High Seas Task Force, OECD, Paris.
  3. Reconsurve Project Profile. (October 2011).



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline