Dikotomi atau dualisme adalah istilah yang menunjukkan partisi atau pembagian dari suatu keseluruhan menjadi dua bagian. Dikotomi pendidikan di Indonesia adalah suatu yang sudah ada sejak masa penjajahan hingga sekarang, tapi apakah hal ini adalah hal yang baik atau buruk?
Tentu hal ini adalah suatu hal yang buruk karena membedakan pendidikan di Indonesia yang bisa berdampak kepada kualitas sumber daya manusianya. Bagaimana tidak, dikotomi pendidikan berarti perbedaan kualitas pendidikan satu dengan yang lain, hal ini menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan di masyarakat.
Ambil contoh dari zaman penjajahan di saat Belanda membagi dua pendidikan menjadi khusus pribumi dan khusus bangsawan. Sekolah khusus pribumi memiliki personil pengajar yang buruk, menghasilkan hasil didikan yang tidak seberapa dengan sekolah khusus Belanda dan para bangsawan. Mereka yang bersekolah di sekolah para bangsawan memiliki ilmu yang jauh diatas sekolah pribumi, bahkan sebagian dari mereka menjadi pemimpin rakyat dan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Sekolah pertama yang didirikan di Indonesia terletak di Jakarta pada tahun 1817 yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda. Pada tahun selanjutnya, muncullah peraturan mengenai sekolah pribumi yang termuat dalam statuta 1818 yang kurang lebih berisi ‘pemerintah hendaknya merancang peraturan bagi sekolah-sekolah anak pribumi putera’.
Lompat beberapa tahun, tepatnya pada tahun 1852 didirikanlah sekolah pendidikan guru. Sampai pada tahun 1970, ekonomi Belanda memburuk yang berdampak pada Belanda yang lepas tangan perihal pendidikan ke swasta untuk meringankan beban finansial mereka.
Berpindah ke masa kepemimpinan Presiden Soeharto, pembagian pendidikan Indonesia menjadi dua masih terjadi di masa ini, lebih tepatnya pembagian sekolah umum dan sekolah islam. Pada mulanya, sekolah umum lebih mendapat keuntungan mencari kerja dan mendapat ijazah kelulusan yang diakui oleh pemerintah.
Pada tahun 1972 dan tahun 1974, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 34/1972 dan Inpres No. 15/1974 yang dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi dari segenap umat Islam. Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada 1975 yang mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang setingkat dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat dengan SMP, dan Madrasah Aliyah (MA) yang setingkat dengan SMA.
Hakikat dari SKB tiga menteri tersebut adalah 1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat/sederajat; 2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas; 3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Permasalahan dikotomi pendidikan di Indonesia mungkin sudah hilang jika dilihat secara kasat mata, tapi sebenarnya masih ada sebagian kecil aspek dikotomi tersebut yang masih mengakar di masyarakat, contoh paling jelasnya adalah perusahaan-perusahaan yang hanya menerima lulusan dari top 3 universitas besar, yang padahal top 3 universitas tersebut tidak benar-benar menjamin kualitas soft skill dan pengalaman yang dimiliki oleh para lulusan.
Bagaimana jika hal ini dibiarkan? melihat dari sejarah, pembagian pendidikan ini bisa berujung kepada perpecahan di Indonesia karena melahirkan dua jenis pendidikan yang notabene sering bertolak belakang satu dengan lainnya. Pemerintah, mahasiswa, dan segenap masyarakat Indonesia harus bertindak, berpikir kritis, dan objektif dalam menghadapi masalah dikotomi pendidikan di Indonesia ini.