Lihat ke Halaman Asli

M. Nahrowi

Penulis | Pengamat Bisnis Digital | Konsultan

Apakah Suatu Bisnis Bisa Hidup Jika "Hanya" Bergantung pada Pemasaran Internet? (Online Marketing)

Diperbarui: 14 Juli 2019   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pertanyaan sekaligus studi kasus yang cukup menarik untuk saya renungkan sendiri, mungkin tulisan ini juga bisa jadi suatu sumbangsih sudut pandang dari sisi yang saya temui.

Kebetulan memang sudah agak lama tidak menulis mengenai evaluasi bisnis pada rubik ini, namun kali ini mendapatkan inspirasi tentang hal tersebut dan saya coba pelajari lebih lanjut dengan cara menulis disini.


Saya masih belajar untuk hal ini, namun kali ini saya coba untuk menuliskan sesuatu hal yang nyata pada perkembangan internet yang banyak disebutkan digital 4.0, dimana para pebisnis sudah harus belajar tentang konsep pemasaran digital dan bagaimana bisnis dapat adabtasi dengan hal ini untuk menciptakan suatu peluang baru atau malah bisa jadi kaget karena kurang adaptif dengan adanya perubahan dari konvesional ke digital ini.


Namun sebenarnya, transformasi digital ini sudah cukup lama terjadi, hanya saja karena banyak didengungkan akhir-akhir ini seolah baru saja dimulai, nyatanya sejak tahun 2013--2014, teknologi berbasis Internet of things (IoT) juga sudah banyak digunakan, bahkan aplikasi yang bisa menghasilkan income sudah banyak bermunculan yang kita sekarang sebut Startup.

Kebetulan saat saya belajar dulu turut ikut benar-benar mengalami masa tranformasi bisnis konvensional ke digital, yang mana bisnis yang benar-benar konvensional (toko jual beli) yang mendapatkan profit dari berjualan dan juga menggunakan media konvensional sebagai salah satu cara promosi, menjadi menggunakan berbagai platform hingga beberapa cara-cara baru untuk memasarkan produk melalui internet yang kita jual waktu itu.

Benar saja, dari penjualan yang awalnya puluhan juta perbulan, bisa tembus menjadi ratusan juta perbulan, artinya pengembangan sektor channel baru ini cukup menghasilkan sumbangsih yang besar untuk bisnis konvensional ini. dari situlah kami berpikir untuk mengukur keduanya. Seberapa efektif model bisnis konvensional dan seberapa efektif model bisnis digital ini, berapa persen sumbangsih masing-masing dalam satu bulan.
Okey, baik kita coba jabarkan pada fase pertama.


1. Retail konvesional : menjual dengan cara konvesional, dengan cara memanfaatkan media sebagai channel utama, bagaimana cara user menemukan produk kita? ya melalui channel-channel media itu. artinya produk ini memiliki cara pemasaran dengan memanfaatkan media sebagai saluran distribusi ke calon customer. Hasilnya, kita harus tahu betul kekuatan media ini, siapa yang melihat media ini, usia, jenis kelamin, interest hingga dari mana saja mereka.

Pertanyaanya adalah : Apakah dengan kita mempromosikan produk ini ke media ini, produk kita " Pasti " dilihat oleh orang lain (calon customer) lalu apakah dengan media ini perusahaan pasti benar-benar mendapatkan penjualan setiap bulannya? Berapa persen penjualan yang akan dihasilkan dari media ini? Semua hal tersebut perlu diukur sehingga kita pebisnis tahu, apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan profit setiap bulannya. Dan mungkin perlu ditanyakan lagi adalah: Apakah dengan bergantung Media ini, produk bisa benar-benar terjual kepada customer, misalnya untuk mendapatkan customer baru atau mungkin repeat order.

Jika misalnya channel media ini tidak cukup memberikan sumbangsih untuk penjualan produk, artinya perlu dilakukan evaluasi dan perusahaan perlu mengalokasikan energi untuk beberapa channel lain yang lebih relevan. misalnya memanfaatkan internet untuk mengembangkan saluran distrubusi baru, membaca kebutuhan pasar sehingga pemilihan produk bisa lebih selektif (sesuai kebutuhan pasar) dan juga pemasaran lebih segmented (sesuai interest) yang memang mau dituju.

Tentunya tidak lucu jika kita menjual sesuatu hal yang tidak dibutuhkan orang, tentu oran akan menolak. Permasalahannya adalah kebanyakan produk dijual ke orang yang tidak tepat sehingga tidak laku, yang kedua adalah nilai-nilai yang ada pada produk (manfaat, kasiat, solusi) tidak disampaikan dengan baik kepada calon customer, sehingga mereka tidak tahu "Apa alasan mereka" harus membeli produk itu kepada kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline